Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosakata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito,1985:55).
Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995: 168) mengemukakan bahwa interferensi adalah peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sisiolinguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.
Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
Abdulhayi (1985:8) mengacu pada pendapat Valdman (1966) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat adanya kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.
Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencakupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosakata. Suhendra Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakata.
Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya akan kosakata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannnya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak lepas dari perilaku penutur bahasa penerima.
Menurut Bawa (1981: 8), ada tiga ciri pokok perilaku atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok sikap bahasa itu adalah (1) language loyality, yaitu sikap loyalitas/ kesetiaan terhadap bahasa, (2) language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa, dan (3) awareness of the norm, yaitu sikap sadar adanya norma bahasa. Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersikap kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi.
Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun (fonologi, morfologi dan sintaksis) merupakan penyakit yang merusak bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998: 165)
Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsurnya atau sistemnya ke dalam bahasa lain; bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.
Dalam komunikasi bahasa yang menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian interferensi dapat terjadi secara timbal balik.
Bertolak dari pendapat para ahli mengenai pengertian interferensi di atas, dapat disimpulkan bahwa.
- kontak bahasa menimbulkan gejala interferensi dalam tuturan dwibahasawan.
- interferensi merupakan gejala penyusupan sistem suatu bahasa ke dalam bahasa lain
- unsur bahasa yang menyusup ke dalam struktur bahasa yang lain dapat menimbulkan dampak negatif, dan
- interferensi merupakan gejala ujaran yang bersifat perseorangan, dan ruang geraknya dianggap sempit yang terjadi sebagai gejala parole (speech).
Interferensi berbeda dengan integrasi. Integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut, serta tidak dianggap sebagai unsur pinjaman atau pungutan (Chaer dan Agustina 1995:168). Senada dengan itu, Jendra (1991:115) menyatakan bahwa dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi sifat keasingannya. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan (interferensi) sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan bahwa unsur itu sudah terintegrasi. Jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima, berarti bahasa tersebut belum terintegrasi.
Suwito (1983:54), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech, parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.
Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu:
- bahasa sumber atau bahasa donor
- bahasa penyerap atau resipien
- unsur serapan atau importasi
No comments:
Post a Comment