Pages - Menu

Tuesday, 22 February 2011

Puisi Taufik Ismail Surat Richard Huch


SURAT RICARDA HUCH (MASA PERANG 4 NOPEMBER 1941) KEPADA USKUP DARI MUNSTER, PANGERAN VON GALEN
Oleh: Taufiq Ismail
Uskup yang mulia, jika saya
Yang tidak Tuan kenal dan asing
Saya menulis surat ini, adalah
Sebagai rasa terima kasih dan hormat
Pada Tuan

Pada bangsa kita selama
Tahun-tahun terakhlr ini
Ada hal yang paling getir keadaannya
Kehilangan hak kemanusiaan
Lenyapnya rasa kemanusiaan
Dan di bawah kelabu mendung ini
Tuan Uskup telah berdiri
Menentang pengagung-agungan kezaliman
Dan tegak di pihak korban
Terang-terangan
Rupanya masih ada kesadaran bahwa
Tuntutan bersih suara hati
Lebih bernilai dari
Sejuta tepukan tangan
Wahai. Semoga Tuan akan merasa gembira
Bahwa banyak orang-orang lainnya
Terikat Tuan hati dan kalbu mereka
Walau tak terucapkan, tak bersuara
Sudilah kiranya Tuan menganggap saya
Dari orang-orang banyak itu, sebagai
Satu suara.
1965
SUARA
Oleh: Taufiq Ismail
Deretkan awan, pelangi, dengan rambutmu merah-ungu
Taburkan pelan, pelangi, sepanjang lengkung lenganmu
Panorama yang kemarau teramat kering
Daunan berjuta. Angin menjadi hening
Tiada terasa lagi di mana suara memanggil-manggil
Tiada suara lagi betapa cahaya makin mengecil
Pohon-pohon redup dan berbunga di bukit dan pesisir
Kemarauku siang, dinginku maJam yang menggigil

Di sanalah dia bersimpuh, bulan yang tua dan setia
Ketika langit seolah menutup dan kau amat pucat
Di hutan selatan cahayamu pelan berlinangan
Melintas jua ke ambang pasar, pada bayang-bayang jambatan
Tiada terasa lagi di mana cahaya berhenti mengalir
Tiada bintik lagi ketika bintang dalam fajar
Dan pada pilar-pilar langit
Awan pun bersandar
Di sanalah kau bersimpuh, bulan yang tua dan setia
Setiap terasa lagi suara memanggil-manggil
Pada pilar-pilar langit. Di puncak-puncaknya
Suara Engkau yang merdu
Suara sepi yang biru.
1965
POTRET DI BERANDA
Oleh: Taufiq Ismail
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala maslh perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku

Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.
1963
SYAIR ORANG LAPAR
Oleh: Taufiq Ismail
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau

Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulangjua
Kalau.
1964
KARANGAN BUNGA
Oleh: Taufiq Ismail
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
‘Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.’
1966

No comments:

Post a Comment