Pages - Menu

Thursday, 7 April 2011

APRESASI PUISI “DERAI-DERAI CEMARA” ita sartka


APRESASI PUISI “DERAI-DERAI CEMARA”
Oleh Ita Sartika
1.      Apresiasi Tingkat Satu

DERAI-DERAI CEMARA
Karya Chairil Anwar

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan ditangkap rapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949



Hal pertama yang membuat penulis tertarik setelah membaca puisi “Derai-derai Cemara” adalah gaya bahasa pengarang dalam puisi ini yang berbeda dari puisi-puisi lainnya. Dimana dalam puisi ini rimanya lebih teratur tidak seperti dalam pusi-pusi Chairil lainnya, misalnya dibandingkan dengan puisi “Aku”. Selain itu uga puisi ini memberikan kesan yang sangat dalam bagi penulis, mulai dari bait pertama sampai bait terakhir.
Pada bait pertama memberikan kesan bahwa bait itu bercerita mengenai kondisi sang penyair yang semakin memburuk, seperti yang tergambar pada setiap larik-lariknya. Dalam kondisinya itu digambarkan pada setiap larik-lariknya, dimana hal itu digambarkan mengenai diri penyair itu sendiri yang digambarkan sebagai sebuah cemara, dan daunnya itu telah menderai dan dahan-dahannya telah merapuh.
Pada bait kedua kesan yang dapat penulis ambil adalah mengenai perasaan pengarang yang memang bisa tahan menghadapi kondisinya itu, karena ia memang sudah dewasa seperti yang terlukis pada larik ke satu dan ke dua. Walupun sebenarnya kondisinya yang ia rasakan itu tak pernah ia bayangkan sebelumnya, hal ini tergambar pada bait ke tga dan ke empat.
Pada bait terakhir kita dapat menafsirkan bahwa akhirnya penyair menyerah, setelah sebelumnya ia berjuang dan mengerti bahwa sesungguhnya hidup hanya menunda kekalahan alias kematian, serta setiap manusia pasti akan menghadapi kematian.

2.      Apresiasi Tingkat Dua
Pada tahap apresiasi kedua ini penulis akan mengapresiasi puisi “Derai-derai cemara” ini menggunakan pendekatan mengenai unsur intrinsik dan ekstrensik yang ada didalamnya.
                                    Unsur Intrinsik Puisi “Derai-derai Cemara”
Tema puisi “Derai-derai Cemara” ini menurut penulis adalah mengenai penyerahan Chairilr terhadap takdir. Karena hal itu didasarkan pada penegasan Chairil pada bait terakhir yang berbunyi:
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Adapun gaya bahasa yang digunakan oleh penyair dalam puisinya ini, banyak menggunakan maas personifikasi, seperti pada bait pertama larik terakhir (dipukul angin yang terpendam), dimana pada bait tersebut  kata angina yang sesungguhnya merupakan benda mati digambarkan seolah-olah hidup sehingga ia bisa memukul.
Puisi ini menggunakan pencitraan penglihatan, dimana saat kita membaca puisi ini kita diajak oleh pengarang seolah-olah melihat sesuatu yang ada dalam pusisi tersebut. Misalnya pada bait pertama yang berbunyi:
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan ditangkap rapuh
dipukul angin yang terpendam
Pengarang merangsang imajinasi kita seolah-olah  melihat daun cemara yang menderai serta dahan-dahannya yang telah rapuh.
Dalam puisi ini Chairil menggunakan rima yang beraturan yakni a-b a-b, dan hal itu secara konsisten ia terapkan dari awal puisi hingga akhir puisi. Selain itu dalam puisi ini Chairil mengamanatkan kepada kita semua bahwa sesungguhnya kita harus bisa menerima takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
            Unsur Ekstrensik Puisi “Derai-derai Cemara”
Chairil dalam puisinya ini menunjukkan kelebihannya dalam memilih kata-kata yang tidak biasa orang lain gunakan tetapi memberikan kesan yang dalam pada setiap pembacanya. Selain itu juga dalam puisinya ini memiliki kelabihan tersendiri dibanding puisi-puisi lainnya yakni mengenai rimanya yang teratur berbeda dengan puisi-puisi lainnya.
Puisi ini juga baik dibaca oleh masyarakat umum tidak hanya kalangan “sastra” saja, yang pada saat ini masyarakat kita cenderung bekerja keras tetapi lupa kepada penciptanNya. Puisi ini dapat mengajarkan mereka bahwa sesungguhnya sekeras apapun kita berusaha atau bekerja tetap saja semua jalan hidup dan keputusan ada di tanganNya. Bahkan seorang Chairil pun akhirnya menyerah juga pada Tuhan di akhir hayatnya.

1 comment: