Tingkat pertumbuhan
penduduk di Indonesia sangat berpengaruh terhadap volume sampah yang ada di
Indonesia. Besarnya sampah yang telah dihasilkan oleh suatu daerah tertentu
akan berbanding lurus dengan jumlah penduduk, jenis aktivitas yang beragam, dan
tingkat konsumsi penduduk di daerah tersebut.
Saat ini pengelolaan
sampah belum dilaksanakan dengan baik sehingga menjadi sumber masalah, terutama
bagi lingkungan masyarakat. Padahal tujuan pengelolaan sampah merupakan proses
yang diperlukan untuk mengubah sampah menjadi materi yang memiliki nilai
ekonomis dan tidak membahayakan bagi lingkungan. Hal itu dapat kita lihat dari
lingkungan sekeliling kita sendiri. Banyak sekali sampah yang menumpuk dan berceceran
dimana-mana. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan pemandangan dan bau yang
tidak sedap.
Prof. H.R. Sudrajat dalam
bukunya yang berjudul “Mengelola Sampah Kota” mengungkapkan bahwa timbunan
sampah akan meningkat setiap harinya. Terlebih lagi potensi timbunan sampah
yang berada pada beberapa kota besar di negara Indonesia yang terus menerus akan
meningkat dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk di kota tersebut.
Selama ini tahapan
penanganan sampah yang ada dimulai dari pengumpulan sampah pada tingkat rumah
tangga, kemudian diangkut ke tempat pembuangan sampah tingkat RW dan kelurahan
atau yang umum dikenal dengan nama Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS),
hingga akhirnya diangkut oleh Dinas Kebersihan kota ke Tempat Pembuangan sampah
Akhir (TPA). Apabila kita melihat alur proses pengelolaan sampah terbut, terlihat
bahwa beban TPA amat berat mengingat harus menampung sampah yang ada dari
seluruh bagian kota. Hal inilah yang dirasakan menjadi masalah oleh kebanyakan
kota besar di Indonesia. Selain itu, khusus
untuk penanganan sampah, berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan setempat,
diketahui bahwa dari tahun ke tahun biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan
sarana transportasi (gerobak/motor sampah,truk sampah dan loader/buldozer) dan
lahan tempat pembuangan sampah (baik TPS dan TPA) makin meningkat sementara
alokasinya masih terbatas. Oleh karena itu, penanggulangan masalah sampah yang
ada saat ini perlu diatasi secara bersama agar dapat tertanggulangi dengan
baik. Kita sebagai masyarakat yang cinta terhadap tanah air harus ikut membantu
menanggulangi permasaslahan ini dengan cara berperan aktif dan bertanggung
jawab dalam melestarikan lingkungan. Selain itu, diperlukan juga kebijakan
tegas yang diatur dan dikeluarkan oleh parlemen Indonesia sebagai wujud nyata
komitmen parlemen dalam menjaga lingkungan. Kebijakan-kebijakan tersebut
diantaranya dapat berupa:
1. penyusunan
norma, standar, prosedur, dan keriteria pengelolalan sampah;
2. pemberian
edukasi terhadap masyarakat tentang bagaimana mengelola sampah dengan baik dan
benar;
3. peningkayan
pelayanan pengangkutan sampah serta penanganan sampah di tempat pembuangan
akhir sampah dengan cara yang akrab/ramah lingkungan dengan mendirikan IPSK
(Instalasi Pengolahan Sampah Kota) sampah organik dan nonorganic;
4. pendirian
IPSO (Instalasi Pengolahan Sampah Organik) basis komunal di TPS dan Pasar
Tradisional dengan pola sentralisasi-desentralisasi (seDesentralisasi).
Selain itu, melihat
kondisi yang ada saat ini untuk memecahkan masalah sampah harus melihat pola
penanganan yang ada. Dengan demikian pada titik mana dari mata rantai
pembuangan sampah tersebut dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sehingga
sampah yang masuk ke TPA pada akhirnya hanya berupa sampah yang benar-benar
tidak dapat diolah kembali. Masalah sampah di berbagai kota besar di Indonesia
sebetulnya dapat dipecahkan dengan baik sebagaimana yang berhasil dilakukan di
negara maju apabila peran aktif masyarakat meningkat. Pada umumnya proses
pengelolaan sampah dengan basis partisipasi aktif masyarakat terdiri dari
beberapa tahapan proses. Mulai dari mengupayakan agar sampah dikelola, dipilah
dan diproses tahap awal mulai dari tempat timbulan sampah itu sendiri (dalam
hal ini mayoritas adalah lingkungan rumah tangga). Upaya ini setidaknya dapat
mengurangi timbulan sampah yang harus dikumpulkan dan diangkut ke TPS sehingga
bebannya menjadi berkurang.
Selanjutnya pada fase
awal di tingkat rumah tangga setidaknya diupayakan untuk mengolah sampah
organik menjadi kompos dan sampah non organik dipilah serta mengumpulkan
menurut jenisnya sehingga memungkinkan untuk di daur ulang. Sampah organik
sebenarnya telah dapat diproses menjadi kompos di setiap rumah tangga pada
tong-tong sampah khusus kompos (Komposter BioPhoskko) yang mampu memproses
sampah menjadi kompos untuk periode tampung antara 5 hingga 7 hari dengan
bantuan aktivator GreenPhoskko "A" (mikroba
pengurai) dan Bulking Agent (penggembur). Bila
proses pengomposan di tiap rumah tangga belum mungkin dilakukan, selanjutnya
petugas sampah mengangkut sampah yang telah terpilah ke tempat pembuangan
sampah sementara untuk diproses. Hasil pengamatan di beberapa tempat pembuangan
sampah atau TPS di beberapa bagian kota diketahui bahwa masing-masing sampah
non organik sangat memiliki nilai ekonomi.
Pewadahan dan pengumpulan
dari wadah tempat timbulan sampah sisa yang sudah dipilah ke tempat pemindahan
sementara. Pada tahapan ini beban kerja petugas pembuangan sampah menjadi lebih
ringan.
Pengangkutan ke tempat
pembuangan atau ke tempat pengolahan sampah terpadu. Pada tahapan ini
diperlukan kotak penampungan sampah dan gerobak pengangkut sampah yang sudah
dipilah.
Tahapan selanjutnya adalah
pengolahan sampah yang tidak memungkinkan untuk diolah di setiap lingkungan
rumah tangga di TPS. Tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang ada dengan
menggunakan pendekatan ini kemudian diubah fungsinya menjadi semacam pabrik
pengolahan sampah terpadu, yang produk hasil olahnya adalah kompos, bahan daur
ulang dan sampah yang tidak dapat diolah lagi.
Tahapan akhir adalah
pengangkutan sisa akhir sampah, sampah yang tidak dapat didaur ulang atau tidak
dapat dimanfaatkan lagi ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Pada fase ini
barulah proses penimbunan atau pembakaran sampah akhir dapat dilakukan dengan
menggunakan incinerator, sekitar 5-10 % sampah yang tdk dapat di daur ulang.
Berdasarkan tahapan
proses di atas kunci penanganan sampah berbasis masyarakat (komunal) ini
sebenarnya terletak pada rantai proses di tingkat rumah tangga dan di tingkat
kelurahan/desa (yaitu di tempat pembuangan sampah sementara atau TPS). Yang
melibatkan langsung masyarakat sebagai pengelola plus (pemilik home industri). Tanpa
system komunal ini mustahil sampah dapat diatasi dengan tuntas. Cara penanganan
seperti ini sebenarnya bertujuan untuk:
1. membudayakan
cara pembuangan sampah yang baik mulai dari lingkungan rumah hingga ke Tempat
Pembuangan Sampah (TPS) dengan menggunakan kantong / box sampah dan gerobak
sampah terpisah antara sampah organik dan non organic;
2. menata
tempat pembuangan sampah (TPS) menjadi pusat pemanfaatan sampah organik dan
nonorganik secara maksimal sampah organik diolah menjadi kompos;
3. menjadikan
sampah non organik menjadi bahan baku untuk diolah menjadi bahan daur ulang
(kertas, kaca, plastik dsb.) atau produk consumer goods, handycraft, biogas dan
sebagainya;
4. memotong
mata rantai distribusi sampah dari TPS ke TPA, karena sampah (khususnya sampah
organik) habis di olah di TPS.
Implementasi model ini
tergantung dari sikap masyarakat dalam memperlakukan sampah serta pemerintah
perlu mendorong kearah Pengelolaan basis komunal. Semakin sadar masyarakat akan
pentingnya kebersihan lingkungan akan semakin mudah proses ini dapat dilaksanakan.
Untuk itu peran pemerintah, LSM serta peran dunia usaha dalam mensosialisasikan
hal ini serta dan harus didukung dengan penerapan peraturan perundangundangan
tentang lingkungan serta penerapan perundangundangan tentang pengelolaan sampah
diserta peraturan daerah (Perda) yang lebih tegas, pada akhirnya akan
menentukan keberhasilan dalam penanggulangan masalah sampah khususnya di
perkotaan, serta mensukseskan pembangunan pertanian organik Indonesia, sistem
pertanian yang berkelanjutan
No comments:
Post a Comment