This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Search This Blog

Tuesday, 31 May 2011

Permasalahan Pengajaran BIPA di Berbagai Negara

 
Terdapat berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tawaran BIPA di berbagai negara. Di Australia, seperti yang dituturkan Sarumpaet (1988), hambatan khas terhadap perkembangan BIPA adalah "kurangnya lowongan pekerjaan atau jabatan untuk mereka yang mempunyai kemahiran dalam BI." Di Korea, menurut Young-Rhim (1988), "hambatan lain yang kami rasakan hanyalah mengenai materi pelajaran." Di Amerika Serikat, persoalan mutu pelajaran masih harus diupayakan pemecahannya, sebagaimana diutarakan oleh Sumarmo (1988). Di Jerman, karena minat mempelajari bahasa dan kebudayaan Indonesia terus meningkat, upaya perlu dilakukan "melalui peningkatan penulisan dan penerbitan buku tentang Indonesia baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia" (Soedijarto, 1988). Di Jepang guru BIPA "membutuhkan kamus yang lengkap, terutama kamus yang lengkap dengan contoh pemakaian kata yang cukup banyak" (Shigeru, 1988).
Referensi
Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik  Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.
Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.
Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's.
Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers.
Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston.
Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.
Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd.
Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.
Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press.
Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Saturday, 28 May 2011

Media “Authentic Materials” dalam Pengajaran Bahasa Asing


              Dalam belajar bahasa asing dapat dipakai salah satu dari beberapa pendekatan yang telah dikenal hingga saat ini. Penggunaan pendekatan tertentu berkorelasi dengan jenis kemahiran yang dipelajari, dan materi yang dipelajari. Pemakaian “authentic materials” dituntut jika kita menggunakan pendekatan komunikatif-integratif dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing.
              Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan komunikatif integratif adalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa dengan menekankan aspek komunikatif dan integratif. Dengan komunikatif dimaksudkan sebagai pendekatan yang mengutamakan pembelajar menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi secara aktif. Ini berarti fokus diletakkan pada penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sementara itu yang dimaksud dengan integratif ialah keterpaduan penggunaan kemahiran mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Di samping itu dengan pendekatan integratif pembelajar bahasa juga dilibatkan dalam aktivitas di kelas dan di luar kelas, baik dalam bentuk tugas terstruktur atau sosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya.
              Agar para pembelajar dan pengajar dapat berkomunikasi dengan baik diperlukan materi pelajaran yang fungsional. Seperti dijelaskan oleh Eskey (1986) para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan identifikasi bentuk; sedang para pembelajar yang termasuk higher-level cognitive skills memerlukan materi pelajaran yang menekankan interpretasi makna. Bagi para pembelajar yang termasuk lower-level cognitive skills yang lazimnya berada di kelas pemula pemakaian “authentic materials” yang menekankan aspek bentuk sangat penting untuk menjembatani kesenjangan komunikasi di antara pembelajar dan pengajar. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di dalam kelas jika para pembelajar tidak mengetahui satu kata pun dari bahasa yang dipelajarinya, sementara itu pengajar harus memaparkan materi pelajaran dengan memakai bahasa yang sedang dipelajarinya. Dengan menggunakan “authentic materials” yang tepat para pembelajar akan dapat mengikuti pelajaran dengan memanfaatkan pengetahuan dasarnya untuk menebak materi pelajaran yang dipelajarinya.
              Pada umumnya pembelajar bahasa asing dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu kelas pemula (novice), menengah (intermediate), dan atas (advanced). Kelas pemula dibedakan atas kelas pemula bawah (novice-low), pemula tengah (novice-mid), dan pemula atas (novice-high). Kelas menengah dibagi atas kelas menengah bawah (intermediate-low), menengah tengah (intermediate-mid), dan menengah atas (intermediate-high). Untuk kelas atas jika diperlukan dapat dibedakan atas kelas atas (advanced) dan kelas superior (superior).
              Kelas pemula ditandai oleh kemampuan berkomunikasi secara minimal atas materi yang dipelajari. Kelas menengah ditandai oleh kemampuan memakai materi pelajaran dengan mengkombinasikan unsur-unsur yang dipelajari dan bertanya serta menjawab pertanyaan. Kelas atas ditandai oleh kemampuan berkomunikasi serta menulis teks yang utuh. Pengelompokan ini sangat penting untuk melaksanakan pendekatan komunikatif-integratif, karena hanya kelas yang kemampuan pesertanya hampir samalah interaksi antarpembelajar dan pengajar dapat terjalin dengan baik. Apabila kemampuan pembelajar relatif berbeda, tidak jarang proses belajar-mengajar terganggu oleh pembelajar yang tidak dapat mengikuti pelajaran, atau sebaliknya oleh pembelajar lain yang lebih tinggi kemampuannya.
              Berdasar asumsi bahwa retensi yang dihasilkan dari aktivitas membaca paling rendah bila dibandingkan dengan aktivitas lainnya, maka pelajaran membaca perlu mendapat perhatian khusus. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif-integratif, aktivitas pada pelajaran membaca tidak terbatas pada membaca saja, tetapi dapat pula menjangkau aktivitas mendengar, berbicara, dan menulis. Hal ini berarti beberapa jenis aktivitas itu diintegrasikan ke dalam suatu aktivitas, yaitu melalui pelajaran membaca. Aktivitas mendengar terlibat dalam pelajaran membaca karena pembelajar harus mendengarkan ucapan-ucapan guru dan pembelajar lain ketika berinteraksi di dalam kelas, aktivitas berbicara terwujud pada saat pembelajar mendiskusikan materi pelajaran, dan aktivitas menulis tercakup dengan adanya tugas-tugas menulis karangan atau laporan dari hasil diskusi kelompok. Pada dasarnya pelajaran membaca itu sendiri dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap prabacaan, bacaan, dan pascabacaan. Setiap tahap harus dilakukan karena tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap lainnya, dan keberhasilan pelajaran membaca ditentukan oleh ketiga tahapan itu.
              Pada tahap prabacaan guru memperkenalkan tipe teks yang akan dipelajari dan menyampaikan bagan atau gambaran umum mengenai topik yang akan dibahas. Tahap prabacaan berfungsi sebagai basis dari keseluruhan pelajaran membaca, dalam arti bahwa pembelajar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran ini tanpa dibekali informasi dan pikiran yang tepat mengenai teks yang akan mereka baca. Untuk itu sebelum pelajaran membaca dimulai, guru mulai menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Dalam hubungan ini guru menanyakan informasi apa saja yang akan muncul berkenaan dengan topik yang akan dipelajari dan dicacat pada papan tulis agar dapat dilihat dan diingat oleh para pembelajar. Dalam hal ini guru sangat dituntut peranannya untuk memancing siswa terlibat aktif dalam tahap prabacaan ini.
              Perlu diketahui bahwa pada tahap prabacaan ini guru belum membagikan teks yang akan dipelajari. Sebelum teks dibagi, guru mendiskusikan topik yang akan dibahas di dalam teks. Diskusi ini dimaksudkan untuk memancing informasi yang akan dipakai sebagai kata kunci untuk menyusun hipotesis dalam memahami isi teks.
              Kegiatan membaca dimulai ketika guru sudah mendistribusikan teks kepada para pembelajar. Para pembelajar diminta membaca dan memahami isi teks. Kata-kata yang dianggap sulit (karena belum pernah dikenalnya) dicacat dan ditanyakan kepada guru. Guru menjelaskan makna kata itu beserta sinonimnya agar para pembelajar bertambah penguasaan kosa katanya. Pada bagian bacaan terdapat pertanyaan tentang teks atau memilih serta mengisi bagian-bagian tertentu dari soal yang disajikan. Untuk mengerjakan bagian ini para pembelajar dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 2 atau 3 orang. Dalam kelompok itu pembelajar berdiskusi dengan temannya mengenai apa yang ditanyakan dalam teks. Setelah diskusi selesai guru bertanya kepada para pembelajar satu per satu mengenai apa yang dikerjakan dan bagaimana hasilnya. Jika dalam materi pelajaran terdapat bagian yang harus diperankan, maka para pembelajar diminta untuk main peran mengenai hal tertentu, seperti wawancara antara wartawan dengan seorang pejabat, atau percakapan di antara penjual dan pembeli.
              Pada bagian pascabacaan terdapat tugas yang harus dikerjakan oleh para pembelajar setelah pelajaran selesai. Ini berarti setelah pelajaran selesai para pembelajar diberi pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah ini dikumpulkan pada hari berikutnya ketika pelajaran yang sama berlangsung lagi. Sedapat mungkin pekerjaan para pembelajar dari pascabacaan ini diperiksa dan hasilnya dikembalikan kepada para pembelajar. Jika waktu tidak memungkinkan, bagian pascabacaan ini tidak perlu dibahas di kelas, tetapi guru menyediakan waktu bagi para pembelajar jika ingin menanyakan sesuatu berkenaan dengan materi yang ada pada bagian pascabacaan.
              Teks yang akan dipakai sebagai bahan bacaan harus disesuaikan dengan kemampuan para pembelajar dan sebaiknya berasal dari “authentic materials.” Untuk kelas pemula yang sama sekali belum mengenal bahasa Indonesia dapat dipilih teks yang berasal dari “authentic materials” mulai dari yang sangat sederhana hingga yang sedikit lebih kompleks. Seperti dianjurkan oleh Eskey (1986) untuk para pembelajar yang termasuk “lower-level cognitive skills” disajikan teks yang menekankan identifikasi bentuk. Dalam hal ini teks yang menekankan identifikasi bentuk itu diusahakan teks yang mengandung unsur-unsur universal sehingga para pembelajar dapat mengenali bentuk teks tulis sekali pun mereka tidak dapat memahami kata-kata yang ada dalam teks itu. Sebagai contoh pada hari pertama dalam pelajaran membaca pada kelas pemula guru menyajikan kartu nama sebagai bahan pelajaran. Pada umumnya kartu nama mempunyai bentuk yang relatif standar sehingga para pembelajar dapat menebak bagian-bagian yang memuat informasi tentang nama, alamat kantor atau alamat rumah, nomor telepon dan sebagainya, seperti terlihat pada contoh berikut:
PT MAJU MUNDUR
Aswin Budi Pratama
Direktur Utama
Kantor:
Jl. Wuruk 4
T. 741374 Smg
Rumah:
Jl. Jangli 23
T. 7478209 Smg

--nama institusi
--nama diri
--jabatan
--alamat kantor/rumah
              Dengan memakai kartu nama guru dapat melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah diuraikan sebelum ini. Pada tahap prabacaan guru menjelaskan anatomi kartu nama, dan para pembelajar dipancing untuk mengidentifikasikannya. Setelah guru mendistribusikan teks yang berisi kartu nama, guru mulai menjelaskan atau menanyakan beberapa hal, misalnya dengan kalimat-kalimat seperti berikut ini:
  1. Siapa aku?
  2. Dimana rumahku?
  3. Berapa nomor telpon rumahku?
Nama saya ...
Rumah saya ...
Nomor telpon rumah saya ...
              Pada tahap pascabacaan para pembelajar diminta menulis kartu nama dari setiap pembelajar. Tugas itu dilengkapi penjelasan tentang informasi diri setiap pembelajar seperti yang telah dijelaskan di dalam kelas. Setelah dimulai dengan teks yang sangat sederhana seperti kartu nama selanjutnya dapat disajikan teks yang berasal dari “authentic materials” yang lain, seperti bon atau nota pembelian barang, daftar menu rumah makan, kartu undangan dan lain sebagainya. Teks-teks seperti itu mudah diidentifikasi bentuknya karena para pembelajar pernah memakai atau menjumpainya dalam kehidupan sehari-hari walaupun ditulis dalam bahasa yang berbeda. Dengan demikian para pembelajar akan tertarik dengan materi pelajaran itu dan keterlibatan pembelajar pada subjek yang sedang dipelajari dapat dipelihara.
              Untuk kelas menengah dan atas mulai disajikan teks dari “authentic materials” yang menuntut interpretasi makna kata-kata dan kalimat yang ada di dalam teks. Diasumsikan para pembelajar pada kelas menengah dan atas sudah menguasai sejumlah kata bahasa Indonesia sehingga kata-kata yang dikuasainya dapat dipakai sebagai modal untuk mengikuti pelajaran guna meningkatkan kemampuan bahasa Indonesia mereka. Berturut-turut dapat dipilih teks yang berasal dari bagian-bagian surat kabar, seperti iklan, berita keluarga; dan teks lain yang sederhana seperti surat, selebaran, pengumuman, dan seterusnya. Untuk kelas atas dapat dipilih teks yang berasal dari bagian-bagian majalah atau buku untuk dibahas isinya.
              sSetelah teks-teks itu dibahas di dalam kelas, para pembelajar baik di tingkat menengah atau atas diminta menulis karangan atau laporan yang berkaitan dengan teks itu. Tugas ini dapat dipakai sebagai acuan untuk mengetahui penguasaan bahasa Indonesia oleh para pembelajar dan perkembangan yang dialami selama mengikuti pelajaran. r

Daftar Pustaka
Cross, David. 1992. A Practical Handbook of Language Teach ing. New York: Prentice Hall.
Dale, Cone. 1969. Education Media. New York: Charles Merrill.
Donough, J.C. Shaw. 1993. Materials and Methods in ELT. Lon don: Blackwell.
Dubin, F, and D.E Eskey and W. Grabe. 1986. Teaching Second Language: Reading for Academic Purposes. Addison- Wesley Publishing Co. Inc.
Lado, Robert. 1985. “Memory Span as a Factor in Second Lan guage Learning,” dalam IRAL 3: 23-129.
Sudaryono. ( ...). Pemakaian “Autentic Materials” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. BIPA Volume I/5.

Pemilihan Pendekatan Pengajaran dan Pembelajaran yang Tepat



   Pengajaran dan pembelajaran BIPA dalam arti yang sesunguh-sungguhnya dengan rentang waktu yang memadai terjadi biasanya untuk memenuhi permintaan  golongan 2) dan 3) yang saya sebut terdahulu : permintaan pengenalan BI tingkat dasar dan permintaan penguasaan BI secara penuh. Sedangkan permintaan golongan 1) biasanya cukup sampai tingkat tahu BI sepotong-potong untuk konteks situasi terbatas tertentu.
      Tidak dipungkiri bahwa pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang bertujuan penguasaan kompetensi komunikatif kini sudah banyak diikuti. Namun perlu dicamkan apa tujuan utama pembelajar BIPA itu. Kalau kebutuhan pembelajar pertukaran lebih banyak ke arah pemahaman survival Indonesian, tentunya aspek pemahaman ragam fungsional bahasa ujar lebih penting daripada ragam bahasa tulis. Sebaliknya jika tujuan pembelajar pertukaran lebih banyak ke arah pengenalan BI taraf dasar dan taraf penguasaan BI secara penuh, tentunya penyelenggaran pengajaran dan pembelajaran BIPA harus memperhatikan aspek formal-fungsionalnya
     Pendekatan komunikatif tidaklah berarti ”pokoknya bisa berkomunikasi” dalam bahasa target tanpa memperhatikan penguasaan aspek formal sistem bahasanya. Dalam pengalaman praktis saya perihal penguasaan aspek formal bahasanya, saya cermati ada manfaatnya secara ekletik meminjam dari pendekatan lain dalam hal membangun pembiasaan diri (habit build up) dalam BI  berupa antara lain memperkenalkan pola-pola kalimat BI yang frekuensi pemakaiannya sangat tinggi. Pengenalan suatu pola kalimat kemudian dikaitkan dengan latihan produksi kalimat-kalimat baru berdasarkan pola kalimat utama  diajarkan / dilatihkan melalui mekanisme substitusi. Saya tidak sepakat bahwa aktivitas demikian disebut ”pembiasaan membeo” bilamana latihan-latihan  dilakukan dengan menggunakan materi ajar yang bermakna dan relevan secara situasional. Penguasaan pembelajar akan pola-pola kalimat bermakna secara fungsional dan situasional dan kemampuan memproduksi kalimat-kalimat baru sesuai makna / pesan yang ingin disampaikan sangat membantu percaya diri pembelajar dalam menggunakan BI.
Daftar Pustaka
Gunawan, Samuel. (..).MERANCANG BIPA SESUAI TUNTUTAN  PELANGGAN YANG SANGAT BERAGAM DALAM PROGRAM PERTUKARAN MAHASISWA. samgun@peter.petra.ac.id
Basuki, S. (..) Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa Indonesia untuk Orang Asing : 
                   Berbagai Masalah. BIPA Volume I/1.
Bundhowi, M. (..). Komponen Budaya dalam Pengajaran BIPA. BIPA Volume I/1.
Dardjowidjojo, S. (1996). Metode dan keberhasilan Pengajaran Bahasa. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Abdul-Hamied, F. (..). Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing : Isu dan realita. BIPA Volume I/1.
Lapoliwa, H. (1996). BIPA dan Pembinaan Citra Bahasa Indonesia. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Puspitorini, D. (1996). Bahasa Indonesia yang Baku dan Nonbaku dalam Pengajaran BIPA di FSUI. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Riasa, N. (..). Rancangan Pembelajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Asing. BIPA Volume I/1.
Sudaryono. ( ...). Pemakaian “Autentic Materials” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. BIPA Volume I/5.

Friday, 27 May 2011

Latar belakang Pengajaran BIPA


Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis yang melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik dan psikologi akan menjadi landasan terbaik guna memecahkan masalah pengajaran bahasa.
Selanjutnya, lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam menelorkan pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey (baca Stern, 1983).
Pembelajaran bahasa sering hanya memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan mengabaikan tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933:499) menyatakan bahwa
Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and non-linguistic behavior, will agree with the criticism that our schools deal too much with the former, drilling the child in speech response phases of arithmetic, geography, or history, and neglecting to train him in behavior toward his actual environment.
Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks pembelajaran bahasa hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara lain variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat akulturasi (Krashen, 1982:330).
Dalam berbagai penelitian yang dilaporkan oleh Krashen (1982:37-43), pajanan itu terkadang berkorelasi positif dan berarti dengan kemahiran berbahasa, tetapi terkadang juga tidak. Dalam hal variabel usia yang sering diasumsikan sebagai suatu penduga kemahiran B2, Krashen, Long dan Scarcella yang dikutip oleh Krashen (1982:43) mengetengahkan generalisasi berikut berdasarkan hasil penelitiannya: (1) Orang dewasa bergerak lebih cepat dari pada anak-anak dalam melampaui tahapan dini perkembangan B2-nya; (2) dengan waktu dan pajanan yang sama, anak yang lebih tua melalui proses pemerolehan bahasa lebih cepat dari pada anak yang lebih muda; dan (3) pemeroleh yang memulai pajanan alamiah terhadap B2 pada masa anak-anak pada umumnya mencapai kemahiran B2 lebih baik dari pada yang memulai pajanan alamiahnya sebagai orang dewasa.
Tingkat akulturasi si pembelajar terhadap kelompok bahasa sasaran akan mengontrol tingkat pemerolehan bahasanya. Menurut Schumann yang diuraikan Larsen-Free man (di Bailey, Long & Peck (penyunting), 1983), akulturasi itu meliputi dua kelompok faktor: variabel sosial dan variabel afektif.
Sedikit berbeda dengan Krashen, Titone (di Alatis, Altman, dan Alatis (penyunting), 1981:74-75) menduga bahwa motivasi, bakat bahasa, dan jumlah waktu yang dipakai dalam belajar bahasa merupakan tiga faktor yang paling menonjol yang memberikan ciri pada pembelajaran B2.
Referensi
Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik  Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.
Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.
Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's.
Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers.
Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston.
Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.
Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd.
Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.
Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press.
Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University Press.

Jenis-jenis Permintaan atau Tujuan Pembelajar Asing


1) Permintaan akan survival Indonesian
      Kebutuhan Bahasa Indonesia (BI) di sini terbatas pada taraf pemahaman (mungkin kurang tepat kalau disebut penguasaan) BI yang pokok-pokok untuk kepentingan perhubungan atau pun kepentingan aktivitas sehari-hari yang sangat praktis dan terbatas. Biasanya si pembelajar sudah cukup puas dan merasa memadai kalau hanya paham kosa kata dan ungkapan-ungkapan praktis yang sangat diperlukan dalam aktivitas sehari-hari. Kebutuhan aspek fungsional terbatas lebih utama dibanding kebutuhan aspek formal BI.
      Bilamana permintaan para pembelajar asing hanya sebatas memperkenalkan mereka dengan survival Indonesian, tentunya pendekatan fungsional praktis perlu lebih dikedepankan daripada pendekatan formal. Dengan kata lain, pembelajar cukup diperkenalkan kepada BI yang praktis-praktis yang akan mereka temukan di seputar kegiatan utama selama mereka melaksanakan aktivitasnya di Indonesia. Mengingat keterbatasan waktu yang ada bisa disiapkan semacam ”Buku Pintar BI sehari-hari”. Sebagai contoh di U.K. Petra misalnya setiap tahun diselenggarakan kegiatan KKN yang dikenal dengan nama ”COP” (Community Outreach Program) yang diikuti oleh para mahasiswa beberapa PTLN dari Korea, Jepang, Hongkong, Singapore, Belanda, dsb. yang berbaur dengan para peserta dari U.K. Petra sendiri dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat di desa binaan. Rentang waktu kegiatan COP tersebut adalah antara 6 – 8 minggu. Sudah barang tentu yang diperlukan oleh para mahasiswa asing tersebut adalah pengenalan budaya masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedesaan tempat lokasi COP mereka dan pengetahuan BI praktis seperlunya (survival Indonesian).     


2) Permintaan pengenalan BI taraf dasar
     Dibanding butir 1) di atas, kebutuhan BIPA dalam golongan ini bisa disebut berupa kebutuhan akan penguasaan BI pada taraf dasar. Kebutuhan penguasaan aspek formal cukup kentara karena kebutuhan penguasaan sistem BI taraf dasar dirasakan. Aspek fungsionalnya membantu pembelajar memahami terapannya dalam realita situasi pemakaian bahasa.
        Mahasiswa program pertukaran umumnya datang untuk jangka waktu yang berbeda-beda-beda. Kalau mereka datang untuk pengumpulan kredit (credit earning) dalam jangka waktu yang memadai, umumnya tidaklah menyulitkan bagi perancangan dan penyelenggaraan kegiatan pengajaran dan pembelajaran BIPA. Bila mereka datang untuk jangka waktu yang singkat, misalnya 1 semester atau bahkan lebih singkat dari itu, tentu BIPA yang mereka dapat ikuti akan sangat terbatas karena kendala keterbatasan waktu untuk mengikuti BIPA tersebut  terkait adanya kewajiban pengumpulan kredit untuk beberapa mata kuliah lainnya. BIPA yang dapat dipelajari paling-paling hanya pada tingat pemula saja. Sekadar gambaran berikut adalah susunan mata ajar  tingkat pemula khusus ini :



BIPA 1 (TINGKAT PEMULA KHUSUS)
Lama Belajar 10 minggu

                        Jam Pertama  (90 menit)                          Jam Kedua (90 menit)

                        Membaca  Intensif A                                   Menyimak A
                        Tata Bahasa                                                 Percakapan A
                        Membaca Intensif  B                                   Percakapan B
                        Percakapan C                                               Menyimak B
                        Mengarang Terbimbing (Narasi)                 Praktikum Terpadu
                        ----------------------- Wisata Budaya ---------------------------------





3) Permintaan penguasaan BI  secara penuh
     Pada penggolongan ini pembelajar membutuhkan penguasaan BI secara utuh dari tingkat pemula, tingkat menengah sampai tingkat lanjutan sehingga pembelajar mampu menggunakan BI dalam pelbagai situasi komunikasi.
       Permintaan BIPA  dalam golongan ini ialah penguasaan BI secara penuh, utamanya sistem formal kebahasaannya di samping juga disertai aspek fungsional pemakaiannya secara kontekstual. Tujuan pengajaran dan pembelajaran ini tentunya memungkinkan pengembangan rancangan pengajaran dan pembelajaran BIPA secara berjenjang yang lazim dikenal dalam pengajaran bahasa asing pada umumnya seperti  : tingkat pemula, tingkat menengah dan tingkat lanjutan. Berikut adalah susunan mata ajar dalam penjenjangannya (Tingkat pemula khusus dengan tingkat pemula dalam golongan ini pada prinsipnya sama) :




BIPA  1 (PEMULA)
Lama Belajar 10 minggu

                        Jam Pertama  (90 menit)                         Jam Kedua (90 menit)

                        Membaca  Intensif A                                  Menyimak A
                        Tata Bahasa                                                Percakapan A
                        Membaca  Intensif B                                  Percakapan B
                        Percakapan  C                                             Menyimak B                  
                        Mengarang Terbimbing (Narasi)                Praktikum Terpadu
                        ----------------------- Wisata Budaya ------------------------------

BIPA 2 (MENENGAH)

                       Membaca  Intensif  A                                  Tata Bahasa
                       Menyimak (Video)  A                                  Mengarang Deskripsi
                       Membaca Intensif  B                                    Menyimak (Video) B                                                                                                                 
                       Presentasi                                                     Praktikum Terpadu A
                       Membaca Ekstensif                                      Praktikum Terpadu B
                       ------------------------ Wisata Budaya -------------------------------

BIPA 3 (LANJUTAN)

                     Menyimak (Video) A                                     Ceramah Aspek Budaya
                     Mengarang Esai                                              Diskusi
                     Tata Bahasa                                                    Membaca Intensif
                     Terjemahan                                                     Membaca Ekstensif
                     Menyimak (Video) B                                      Praktikum Terpadu
                     -------------------------- Wisata Budaya ---------------------------------

Daftar Pustaka
Gunawan, Samuel. (..).MERANCANG BIPA SESUAI TUNTUTAN  PELANGGAN YANG SANGAT BERAGAM DALAM PROGRAM PERTUKARAN MAHASISWA. samgun@peter.petra.ac.id
Basuki, S. (..) Pengajaran dan Pemerolehan Bahasa Indonesia untuk Orang Asing : 
                   Berbagai Masalah. BIPA Volume I/1.
Bundhowi, M. (..). Komponen Budaya dalam Pengajaran BIPA. BIPA Volume I/1.
Dardjowidjojo, S. (1996). Metode dan keberhasilan Pengajaran Bahasa. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Abdul-Hamied, F. (..). Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing : Isu dan realita. BIPA Volume I/1.
Lapoliwa, H. (1996). BIPA dan Pembinaan Citra Bahasa Indonesia. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Puspitorini, D. (1996). Bahasa Indonesia yang Baku dan Nonbaku dalam Pengajaran BIPA di FSUI. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBIPA II). IKIP PADANG.
Riasa, N. (..). Rancangan Pembelajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Asing. BIPA Volume I/1.
Sudaryono. ( ...). Pemakaian “Autentic Materials” dalam Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. BIPA Volume I/5.


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengajaran BIPA


Dalam menanggapi kebutuhan akan ketersediaan bahan masukan bahasa dalam konteks pengajaran BIPA ini, perlu diamati berbagai faktor: Misalnya, ada beberapa karakteristik masukan agar masukan itu bisa diperoleh secara cepat dalam konteks pemerolehan bahasa. Keterpelajaran masukan tersebut antara lain ditentukan dengan karakteristik: keterpahaman, kemenarikan dan/atau relevansi, keteracakan gramatis, dan kuantitas yang memadai (Krashen, 1982:62-73).
Karakteristik keterpahaman bisa diamati dari perkembangan pemerolehan B2 atau bahasa asihg lewat bahan yang tidak bisa dipahami. Karakteristik kemenarikan dan/atau relevansi diharapkan bisa mendorong si pemeroleh untuk memusatkan perhatian pada isi ketimbang pada bentuk. Masukan yang menarik dan relevan diharapkan mampu menciptakan kondisi pada si pemeroleh sedemikian rupa sehingga ia "lupa" bahwa apa yang sedang diresepsinya diproduksi dalam bahasa kedua atau asing. Dalam situasi belajar mengajar di kelas karakteristik ini sukar dipenuhi, karena keterikatan waktu dan keharusan meliput bahan yang sudah tentera dalam silabus. Dalam hal karakteristik keteracakan gramatis, diketengahkan bahwa manakala masukan itu terpahami dan makna dinegosiasi secara berhasil, masukan yang diisitilahkan oleh Krashen sebagai i+1 itu akan secara otomatis hadir.
Dalam membicarakan pengajaran dan pembelajaran bahasa, lingkungan, dalam pengertian "everything the language learner hears and sees in the new language," (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:13), merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa itu. Faktor lingkungan makro meliputi (1) kealamiahan bahasa yang didengar; (2) peranan si pembelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan rujukan konkret untuk menjelaskan makna; dan (4) siapa model bahasa sasaran (Dulay, Burt dan Krashen, 1982:14). Sedangkan faktor lingkungan mikro mencakup (1) kemenonjolan (salience), yaitu mudahnya suatu struktur untuk dilihat atau didengar; (2) umpan balik, yaitu tanggapan pendengar atau pembaca terhadap tuturan atau tulisan si pembelajar; dan (3) frekuensi, yaitu seringnya si pembelajar mendengar atau melihat struktur tertentu (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:32).
Berkenaan dengan faktor lingkungan mikro, yang pertama adalah kemenonjolan (salience). Kemenonjolan ini merujuk pada kemudahan suatu struktur dilihat atau didengar. Ia adalah ciri tertentu yang tampaknya membuat suatu butir secara visual atau auditor lebih menonjol dari pada yang lain. Faktor lingkungan mikro yang kedua adalah umpan balik. Salah satu jenis umpan balik adalah pembetulan, yang lainnya adalah persetujuan atau umpan balik positif.
Faktor lingkungan mikro yang ketiga adalah frekuensi yang diasumsikan sebagai faktor berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa. Makin banyak si pembelajar mendengar suatu struktur, makin cepat proses pemerolehan struktur itu. Tetapi penelitian lain ternyata telah menelorkan hasil yang berbeda (Dulay, Burt, Krashen, 1982:32-37).
Ciri-ciri bahan masukan dalam pengajaran BIPA ini termasuk bahan masukan itu sendiri dalam bentuk bahan belajar-mengajar telah tersedia cukup banyak bila guru BIPA mau melanglangbuana ke sana ke mari lewat berbagai media yang ada. Salah satu di antara media yang akan membantu pengembangan bahan ajar serta akan berkontribusi pada upaya peningkatan berbahasa itu adalah media teknologi, khususnya internet.
Referensi
Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik  Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.
Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.
Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's.
Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers.
Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston.
Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.
Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd.
Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.
Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press.
Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University Press.


Friday, 20 May 2011

Analisis Situasi Kebahasaan Kampung Sukamahi Desa Pamanukan Subang


A.      Profil Situasi Kebahasaan
    Desa Pamanukan (Kota) terbagi menjadi tiga dusun, yaitu dusun Lebaksari, dusun Pangasinan, dan dusun Padek. Desa Pamanukan ini memiliki penduduk yang bersifat majemuk, baik etnis, suku, agama dan budaya, akan tetapi mereka dapat  hidup berdampingan tanpa adanya gesekan dalam kehidupan bermasyarakat.
   Berkaitan dengan situasi kebahasaan, yang menjadi salah satu objek penelitian kali ini, yaitu di Desa Pamanukan terdapat satu RW (Rukun Warga) tepatnya di Kampung Sukamahi, daerah bagian dusun Padek, yang memiliki keunikan dari segi penggunaan bahasa dalam sosialisasi antar warganya. Warga yang umumnya produktif dalam hal pertanian dan perguliran uang, seperti perdagangan dan jasa ini, pada kesehariannya mereka menggunakan dua bahasa daerah, yaitu bahasa sunda dan bahasa jawa kasar.
  Masyarakat asli Kampung Sukamahi ini, adalah penutur bahasa jawa asli, namun karena banyaknya warga pendatang dari daerah tatar sunda sehingga menyebabkan adanya integrasi terhadap situasi bahasa dalam sosialisasi kehidupan bermasyarakat di kampung tersebut. Kampung ini memiliki 1200 penduduk yang dengan cirri khas keunikan bahasa satusama lain. Warganya merupakan multibahasa yang memahami dan mengerti lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa sunda, bahasa jawa dan bahasa Indonesia.
Secara geografis desa pamanukan ini terletak di daerah perbatasan, Indramayu dan Subang sehingga bahasa Jawa (jawa kasar) yang digunakannya pun memiliki keunikan  yang terintegrasi oleh bahasa sunda (sunda kasar). 

B.       Bentuk Bilingualisme Kampung Sukamahi
Apabila ditinjau dari aspek kedwibahasaan, masyarakat Desa Sukamahi Kecamatan Pamanukan Kabupaten Subang dapat digolongkan ke dalam masyarakat dwibahasan. Hal ini disimpulkan berdasarkan hasil pengamatan dilapangan yang menemukan bahwa mayoritas masyarakat di desa tersebut menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam pergaulannya yang dilakukan secara bergantian tergantung siapa yang menjadi lawan tutur. Adapun kedua bahasa tersebut ialah bahasa jawa dan bahasa sunda. Keduabahasa itu dapat mereka kuasai dengan baik, meskipun sebenarnya bahasa jawalah yang menjadi bahasa ibu di desa tersebut, akan tetapi mereka juga dapat menggunakan bahasa sunda dengan baik walapun terbatas pada bahasa sunda kasar. Memang pada kenyataannya ditemukan beberapa orang dari masyarakat desa Sukamahi yakni penutur asli desa tersebut yang tidak dapat menggunakan bahasa sunda secara produktif, akan tetapi mereka tetap dapat digolongkan ke dalam masyarakat dwibahasawan karena mereka mampu memakai bahsa sunda secara reseftif atau telah mengetahui bahasa tersebut.
Selain itu, mayoritas masyarakat desa Sukamahi ini juga dapat digolongkan ke dalam masyarakat multilingual, karena selain bisa berbahasa jawa dan sunda, masyarakat desa Sukamahi ini juga mampu memakai bahasa Indonesia baik secara produktif maupun secara reseftif.

C.      Analisis Interferensi dan Integrasi
Berdasrkan pengamatan yang telah dilakukan di lapangan, selain ditemukan adanya bilingualism dan multilingualisme, ditemukan pula adanya fenomena interferensi dalam pemakaian bahasa mereka sehari-sehari. Fenomena interferensi ini dapat kita lihat apabila anggota masyarakat desa Sukamahi ini sedang berbahasa Sunda. Pada saat ia berbahasa sunda terjadi interferensi yang unik, yakni meskipun ia menggunakan bahasa sunda baik itu dari segi morfologis maupun sintaksis dan semantic akan tetapi dialek yang ia gunakan ialah dialek bahasa jawa. Fenomena interferensi ini dapat kita pahami sebagai akibat dari adanya kontak bahasa yang mengakibatkan terjadinya transfer atau pemindahan unsur bahasa jawa ke dalam bahasa sunda yang dalam peristiwa ini transfer yang diberikan adalah berupa dialek bahasa jawa.
Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu interferensi kultural, semantik, leksikal, fonologis dan gramatikal. Berdasarkan penggolongan interferensi yang dikemukakan Ardiana tersebut, kita dapat menggolongkan fenomena interferensi yang terjadi di Desa Sukamahi ini termasuk ke dalam interferensi fonologis karena interferensi yang terjadi hanya mencakup interferensi dialek jawa pada saat berbahasa Sunda yang meliputi aspek intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
Proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan. bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis. Kedwibahasaan memang merupakan slah satu faktor yang dapat menimbulkan adanya interferensi suatu bahasa.
Adapun topik mengenai integrasi atau penetapan unsur serapan yang dicantumkan dalam kamus bahasa penerima belum dapat kami  temukan, sehingga memungkinkan adanya penelitian lebih lanjut.

D.    Analisis Bentuk-Bentuk Variasi Bahasa
Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Tempat
a.       Tempat dapat Mengakibatkan Variasi Bahasa
Yang dimaksud disini yakni tempat yang dibatasi oleh air, keadaan tempat berupa gunung dan hutan. variasi seperti ini menghasilkan apa yang disebut dialek.
Dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. adapun dialek yang dipakai oleh masyarakat Kampung Sukamahi Desa Pamanukan adalah dengan menggunakan dialek Jawa baik ketika mereka berbahasa Jawa maupun katika mereka berbahasa Sunda.
Ada lima macam perbedaan dialek:
1.            perbedaan fonetik, polimorfisme atau alofonik. perbedaan ini berada dibidang fonologi, dan biasanya si penutur dialek yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.
2.            perbedaan semantic
3.            perbedaan anomasiologis yang menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat berbeda
4.            perbedaan semasiologis yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda
5.            perbedaan morfologis
Berdasarkan penggolongan dialek diatas, dialek yang dipakai oleh masyarakat Kampung Sukamahi Desa Pamanukan ini termasuk ke dalam dialek fonetik, polimorfisme atau alafonik. hal ini didasarkan pada perbedaan yang muncul berada di bidang fonologi dan masyarakat kampung tersebut tidak menyadari adanya perbedaan tersebut pada saat ia memakai dialek bahasa jawa.
b.            Bahasa Daerah, ialah bahasa yang dipakai oleh penutur bahasa yang tinggal di daerah tertentu. bahasa daerah sering dihubungkan dengan suku bangsa. Adapun bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Kampung Sukamahi adalah bahasa Jawa.
c.             Kolokial, ialah bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat yang tinggal di daerah tertentu. Adapun bahasa bahasa yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat kampung ini adalah bahasa Jawa dan Sunda.
d.            Vernakular, adalah bahasa lisan yang berlaku sekarang pada daerah atau wilayah tertentu. Vernakular yang ada di masyarakat ini adalah bahasa Jawa, Sunda dan Indonesia. Khusus untuk bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat apabila ia berkomunikasi dengan masyarakat dari luar daerah.
Variasi bahasa dilihat dari segi waktu
Variasi bahasa secara diakronik disebut dialek temporal, dimana dialek tersebut berlaku pada kurun waktu tertentu. Misalnya bahasa Indonesia dahulu berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, hal itu disebabkan oleh perbedaan waktu yang menjadikan perbedaan makna pada kata-kata tertentu.
Variasi bahasa dilihat dari segi pemakai
a.       glosolalia, ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan. seorang dukun yang memanterai pasiennya biasanya dalam keadaan tidak sadarkan diri.
b.      idiolek, meskipun bahasa sama, tetapi akan diujarkan berbeda oleh setiap penutur, baik yang berhubungan dengan aksen, intonasi, dsb.
c.       kelamin, meskipun perbedaannya tidak tajam, namun tetap akan terlihat perbedaannya ketika berhubungan dengan suasana pembicaraan, topik pembicaraan maupun pemilihan kata yang dipergunakan.
d.      monolingual, yang dimaksud dengan monolingual yakni penutur bahasa yang hanya mempergunakan satu bahasa saja.
e.       Rol, yang dimaksud dengan rol adalah peranan yang diperankan seorang pembicara dalam interaksi sosial.
f.       status sosial, yang dimaksud status sosial pemakai bahasa adalah kedudukannya yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
g.      umur, faktor umur mempengaruhi bahasa yang dipergunakan seseorang. makin tinggi umur seseorang, makin banyak kata yang dikuasainya, makin baik pemahamannya dalam struktur bahasa dan semakin baik pula penlajarannya.


Variasi bahasa dilihat dari segi pemakaiannya
Menurut pemakaiannya, bahasa dapat dibagi atas:
a.       diglosa                         h.    reputations
b.      kreol                            i.     standar
c.       lisan                             j.     tulis
d.      nonstandard                k.    bahasa tutur sapa
e.       pijin                             l.     kan
f.       register                                    m.  jargon
g.      repertories
Variasi bahasa dilihat dari segi situasi
Variasi bahasa dilihat dari segi situasinya dibagi menjadi dua yaitu:
a.       bahasa dalam situasi resmi seperti dalam tulis menulis resmi, contohnya perundang-undangan, dokumen tertulis, surat yang berlaku dalam suatu organisasi. dan terjadi pada spertemuan resmi, contohnya rapat, kuliah, khotbah, ceramah, dan seminar.
b.      bahasa dalam situasi tidak resmi biasanya ditandai dengan keintiman dan di sini berlaku pula asal orang yang diajak bicara mengerti, contohnya ketika tawar menawar di pasar dan ketika berbincang-bincang dengan teman sebaya.
Variasi bahasa dilihat dari statusnya
Dilihat dari statusnya variasi bahasa dibagi atas:
a.       bahasa ibu, adapun bahasa ibu yang dipergunakan oleh masyarakat Kampung Sukamahi adalah bahasa Jawa.
b.      bahasa daerah, bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Kampung Sukamahi adalah bahasa Jawa
c.       lingua franca yang digunakan oleh masyarakat ini sebagai alat komunikasi dengan masyarakat di luar daerah atau yang memiliki bahasa daerha yang berbeda ialah bahasa Indonesia.
d.      bahasa nasional,
e.       bahasa Negara
f.       bahasa pengantar identik dengan bahasa yang berhubungan erat dengan proses belajar mengajar. adapun bahasa pengantar yang digunakan di sekolah kampung Sukamahi adalah Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia

g.      bahasa persatuan
h.      bahasa resmi

E.     Wujud Variasi Kode Bahasa
Berdasarkan hasil penelitian, kami memperoleh data sebagai berikut;
Variasi bahasa dari segi penutur, warga merupakan bilingualis bahasa daerah yang melahirkan suatu variasi bahasa berupa dialek baru yaitu tuturan bahasa sunda bersintegrasi dengan dialek bahasa Jawa, yang disebabkan karena pada umumnya warga adalah orang Jawa, maka para pendatang yang menggunakan bahasa sunda pun, dalam kesehariannya mereka dituntut untuk berkomunikasi dalam bahasa jawa, sehingga ketika mereka menggunakan bahasa sunda, terjadi integrasi antara bahasa sunda dengan bahasa jawa. Situasi ini merupakan wujud integrasi kode yang melahirkan varian regional.
Sosiolek masyarakat di Kampung Sukamahi ini, terdiri atas golongan penutur bahasa jawa, golongan penutur bahasa sunda dan ada juga golongan penutur yang bisa menggunakan kedua bahasa tersebut yang dikarenakan adanya faktor perkawinan atau pun perpindahan penduduk. Namun kedua bahasa daerah yang digunakan merupakan ragam bahasa sunda dan jawa kasar. Berikut pemetaan pengguanaan bahasa dalam kehidupan masyarakat Kampung Sukamahi, Pamanukan.
Penduduk asli + penduduk asli                 menggunakan bahasa jawa
Penduduk asli + pendatang                      menggunakan bahasa sunda + bahasa pppppppp                                                ijawa
Pendatang + pendatang                           menggunakan bahasa jawa   + bahasa ppppppppi                                                 sunda
           Selain kedua variasi di atas, dari percakapan tersebut berdasarkan segi keformalannya merupakan variasi bahasa ragam santai atau ragam kasual karena pelaku percakapan merupakan keluarga dan teman karib.
F.       Faktor Sosial Budaya yang Menentukan Pemilihan Bahasa
Faktor sosial yang menyebabkan adanya variasi bahasa di Kampung Sukamahi  yaitu dikarena adanya perpindahan penduduk antar kampung, dan perkawinan antar suku yang berbeda. Pemilihan penggunaan bahasa di masyarakat umumnya adalah bahasa jawa karena penduduk asli merupakan penutur asli bahasa jawa yang juga bukan merupakan bahasa jawa murni (jawa kasar).  Akan tetapi bagi penduduk pendatang mereka mampu menggunakan dua bahasa yaitu dalam kehidupan keluarga menggunakan bahasa sunda kasar dengan interferensi dan integrasi dari bahasa jawa, sedangkan dalam sosialisasi masyarakat mereka menggunakan bahasa jawa kasar sebagai bahasa pengantar pergaulan di kampung tersebut.
Berikut bagan penentuan bahasa pergaulan dalam masyarakat;
Penduduk asli + penduduk asli                menggunakan bahasa jawa
      Penduduk asli + pendatang                     menggunakan bahasa jawa
      Pendatang + pendatang                           menggunakan bahasa jawa         iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii+ bahasa sunda iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii+ bahasa Indonesia.
Selain faktor sosial, terdapat beberapa faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa warga Kampung Sukamahi, yaitu bahasa percakapan tergantung pada bahasa yang digunakan oleh lawan bicara, dan kepada siapa mereka berbicara.

G.      Wujud Alih Kode yang terjadi Sebagai Bentuk Pilihan Bahasa
  Wujud alih kode yang terjadi bersifat situasional, namun dari beberapa responden yang kami jadikan sebagai sumber data, rata-rata mereka melakukan alih kode dan campur kode antara bahasa jawa kasar dengan bahasa sunda ketika penutur ketiga hadir sebagai pengguna bahasa sunda dan terlibat aktif dalam percakapan.
Ketika dua orang penutur asli yang sedang berbincang dalam bahasa jawa kasar, kemudian datanglah seorang dari observer sebagai penutur ketiga dengan menggunakan bahasa sunda yang ikut masuk dan terlibat dalam pembicaraan mereka, maka serta merta mereka mengubah bahasa jawa yang tadinya mereka gunakan menjadi bahasa sunda kasar mengikuti bahasa yang digunakan oleh penutur ketiga, namun dalam pembicaraannya masih terdapat beberapa serpihan bahasa jawa meskipun tidak dominan. Akan tetapi keunikan yang terjadi adalah munculnya variasi bahasa dari segi varian dialek regional yaitu mereka tetap mempertahankan dialek bahasa jawa, meskipun telah beralih kode menggunakan bahasa sunda (bahasa sunda kejawa-jawaan).
Berikut penggalan percakapan penduduk asli dan pendatang dengan menggunakan bahasa jawa kasar.

Contoh  Alih kode
Bahasa indonesia
Ita                       : Mas boleh ngobrol-ngobrol sebentar?
Mas Radi            : Boleh, ini ada apa?
Ita                       :iEnggak, kita cuma sedang jalan-jalan untuk mengetahui iibahasa di sini.
Nurul                  : Daerah sini masih Sukamahi?
Mas Radi            : Iya Sukamahi
Retno                  : Kalau disini semua pakai bahasa jawa ya Mas?
Mas Radi            : Ya sawarehlah, tapi sundanya juga ada campuran kejawa-iijawaan.          Campur kode


Siti                      : Tos sabaraha lami di Sukamahi Mas?
Mas Radi            : Di dieu mah nembe 6 sasih, tiheula mah dipalih kaler, da di iidieu mah kontrakan.
Ita                       : Pami kanu sepuh Mas nganggo bahasa sunda atau jawa?
Bahasa sunda Mas Radi             : Nya teu langkung nungajak ngomongna, ai abdi mah bade iijawa, sunda oge tiasa.


Keterangan: Dari percakapan di atas maka ditemukan adanya alih kode dari bahasa Indonesia, kemudian adanya campuran bahasa jawa ke dalam bahasa Indonesia, dan penggunaan bahasa sunda murni.

Contoh Campur kode

Satria               : bahasa jawa lengkene contona apa Pa?
Bapak Susilo    : Ya Jawa
Satria               : Ya bahasa Jawa lengkene serupa kaya apa?
Bapak Susilo    : Jawa Indramayu
Satria               : Lengkenena pendatang ora?
Bapak Susilo    : Akeh
Satria               : Lengkene bahasa Jawa Tengah ora Pa?
Bapak Susilo    : Bahasa Jawa Tengan ana mah ana, tapi ngomongna jawa iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiingeneh. Jawa Indramayu lah biasa.
                                      Bahasa sundane sing seperempat, sing akeh bahasa jawa.
Satria               : Akehlah bahasa jawa ngono?
Bapak Susilo    : Jawane jawa kuol.

Keterangan: kata yang dicetak tebal, terindikasi merupakan wujud pengaruh serpihan bahasa sunda dalam penggunaan bahasa jawa.

H.      Faktor Sosial Budaya yang Menentukan Adanya Alih Kode dan Campur Kode dalam Masyarakat Pamanukan, Subang.  
                  Berdasarkan sejarah, Desa Pamanukan terdiri dari berbagai etnis, suku, agama dan budaya. Sehingga kemajemukan itu melahirkan variasi baru dalam situasi kebahasaan masyarakatnya. Di desa ini terdapat satu Rukun Warga, yaitu Kampung Sukamahi,  yang terdiri dari kurang lebih 1200 jiwa yang di dalamnya memiliki keunikan bahasa karena disebabkan oleh integrasi bahasa pendatang dengan bahasa penduduk asli, sehingga munculah variasi bahasa sunda sebagai bahasa kedua (bahasa yang dibawa oleh pendatang) yang berdialek bahasa jawa (bahasa penduduk asli). Faktor sosial lainnya adalah karena perpindahan penduduk, dan perkawinan antara penduduk asli dengan warga pendatang.
A.      Profil Situasi Kebahasaan
    Desa Pamanukan (Kota) terbagi menjadi tiga dusun, yaitu dusun Lebaksari, dusun Pangasinan, dan dusun Padek. Desa Pamanukan ini memiliki penduduk yang bersifat majemuk, baik etnis, suku, agama dan budaya, akan tetapi mereka dapat  hidup berdampingan tanpa adanya gesekan dalam kehidupan bermasyarakat.
   Berkaitan dengan situasi kebahasaan, yang menjadi salah satu objek penelitian kali ini, yaitu di Desa Pamanukan terdapat satu RW (Rukun Warga) tepatnya di Kampung Sukamahi, daerah bagian dusun Padek, yang memiliki keunikan dari segi penggunaan bahasa dalam sosialisasi antar warganya. Warga yang umumnya produktif dalam hal pertanian dan perguliran uang, seperti perdagangan dan jasa ini, pada kesehariannya mereka menggunakan dua bahasa daerah, yaitu bahasa sunda dan bahasa jawa kasar.
  Masyarakat asli Kampung Sukamahi ini, adalah penutur bahasa jawa asli, namun karena banyaknya warga pendatang dari daerah tatar sunda sehingga menyebabkan adanya integrasi terhadap situasi bahasa dalam sosialisasi kehidupan bermasyarakat di kampung tersebut. Kampung ini memiliki 1200 penduduk yang dengan cirri khas keunikan bahasa satusama lain. Warganya merupakan multibahasa yang memahami dan mengerti lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa sunda, bahasa jawa dan bahasa Indonesia.
Secara geografis desa pamanukan ini terletak di daerah perbatasan, Indramayu dan Subang sehingga bahasa Jawa (jawa kasar) yang digunakannya pun memiliki keunikan  yang terintegrasi oleh bahasa sunda (sunda kasar). 

B.       Bentuk Bilingualisme Kampung Sukamahi
Apabila ditinjau dari aspek kedwibahasaan, masyarakat Desa Sukamahi Kecamatan Pamanukan Kabupaten Subang dapat digolongkan ke dalam masyarakat dwibahasan. Hal ini disimpulkan berdasarkan hasil pengamatan dilapangan yang menemukan bahwa mayoritas masyarakat di desa tersebut menggunakan dua bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam pergaulannya yang dilakukan secara bergantian tergantung siapa yang menjadi lawan tutur. Adapun kedua bahasa tersebut ialah bahasa jawa dan bahasa sunda. Keduabahasa itu dapat mereka kuasai dengan baik, meskipun sebenarnya bahasa jawalah yang menjadi bahasa ibu di desa tersebut, akan tetapi mereka juga dapat menggunakan bahasa sunda dengan baik walapun terbatas pada bahasa sunda kasar. Memang pada kenyataannya ditemukan beberapa orang dari masyarakat desa Sukamahi yakni penutur asli desa tersebut yang tidak dapat menggunakan bahasa sunda secara produktif, akan tetapi mereka tetap dapat digolongkan ke dalam masyarakat dwibahasawan karena mereka mampu memakai bahsa sunda secara reseftif atau telah mengetahui bahasa tersebut.
Selain itu, mayoritas masyarakat desa Sukamahi ini juga dapat digolongkan ke dalam masyarakat multilingual, karena selain bisa berbahasa jawa dan sunda, masyarakat desa Sukamahi ini juga mampu memakai bahasa Indonesia baik secara produktif maupun secara reseftif.

C.      Analisis Interferensi dan Integrasi
Berdasrkan pengamatan yang telah dilakukan di lapangan, selain ditemukan adanya bilingualism dan multilingualisme, ditemukan pula adanya fenomena interferensi dalam pemakaian bahasa mereka sehari-sehari. Fenomena interferensi ini dapat kita lihat apabila anggota masyarakat desa Sukamahi ini sedang berbahasa Sunda. Pada saat ia berbahasa sunda terjadi interferensi yang unik, yakni meskipun ia menggunakan bahasa sunda baik itu dari segi morfologis maupun sintaksis dan semantic akan tetapi dialek yang ia gunakan ialah dialek bahasa jawa. Fenomena interferensi ini dapat kita pahami sebagai akibat dari adanya kontak bahasa yang mengakibatkan terjadinya transfer atau pemindahan unsur bahasa jawa ke dalam bahasa sunda yang dalam peristiwa ini transfer yang diberikan adalah berupa dialek bahasa jawa.
Secara umum, Ardiana (1940:14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu interferensi kultural, semantik, leksikal, fonologis dan gramatikal. Berdasarkan penggolongan interferensi yang dikemukakan Ardiana tersebut, kita dapat menggolongkan fenomena interferensi yang terjadi di Desa Sukamahi ini termasuk ke dalam interferensi fonologis karena interferensi yang terjadi hanya mencakup interferensi dialek jawa pada saat berbahasa Sunda yang meliputi aspek intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.
Proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari. Suwito (1985:39-40) mengatakan. bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tesebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis. Kedwibahasaan memang merupakan slah satu faktor yang dapat menimbulkan adanya interferensi suatu bahasa.
Adapun topik mengenai integrasi atau penetapan unsur serapan yang dicantumkan dalam kamus bahasa penerima belum dapat kami  temukan, sehingga memungkinkan adanya penelitian lebih lanjut.

D.    Analisis Bentuk-Bentuk Variasi Bahasa
Variasi Bahasa Dilihat dari Segi Tempat
a.       Tempat dapat Mengakibatkan Variasi Bahasa
Yang dimaksud disini yakni tempat yang dibatasi oleh air, keadaan tempat berupa gunung dan hutan. variasi seperti ini menghasilkan apa yang disebut dialek.
Dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. adapun dialek yang dipakai oleh masyarakat Kampung Sukamahi Desa Pamanukan adalah dengan menggunakan dialek Jawa baik ketika mereka berbahasa Jawa maupun katika mereka berbahasa Sunda.
Ada lima macam perbedaan dialek:
1.            perbedaan fonetik, polimorfisme atau alofonik. perbedaan ini berada dibidang fonologi, dan biasanya si penutur dialek yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.