Dalam menanggapi kebutuhan akan ketersediaan bahan masukan bahasa dalam konteks pengajaran BIPA ini, perlu diamati berbagai faktor: Misalnya, ada beberapa karakteristik masukan agar masukan itu bisa diperoleh secara cepat dalam konteks pemerolehan bahasa. Keterpelajaran masukan tersebut antara lain ditentukan dengan karakteristik: keterpahaman, kemenarikan dan/atau relevansi, keteracakan gramatis, dan kuantitas yang memadai (Krashen, 1982:62-73).
Karakteristik keterpahaman bisa diamati dari perkembangan pemerolehan B2 atau bahasa asihg lewat bahan yang tidak bisa dipahami. Karakteristik kemenarikan dan/atau relevansi diharapkan bisa mendorong si pemeroleh untuk memusatkan perhatian pada isi ketimbang pada bentuk. Masukan yang menarik dan relevan diharapkan mampu menciptakan kondisi pada si pemeroleh sedemikian rupa sehingga ia "lupa" bahwa apa yang sedang diresepsinya diproduksi dalam bahasa kedua atau asing. Dalam situasi belajar mengajar di kelas karakteristik ini sukar dipenuhi, karena keterikatan waktu dan keharusan meliput bahan yang sudah tentera dalam silabus. Dalam hal karakteristik keteracakan gramatis, diketengahkan bahwa manakala masukan itu terpahami dan makna dinegosiasi secara berhasil, masukan yang diisitilahkan oleh Krashen sebagai i+1 itu akan secara otomatis hadir.
Dalam membicarakan pengajaran dan pembelajaran bahasa, lingkungan, dalam pengertian "everything the language learner hears and sees in the new language," (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:13), merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kaitan dengan keberhasilan pembelajaran bahasa itu. Faktor lingkungan makro meliputi (1) kealamiahan bahasa yang didengar; (2) peranan si pembelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan rujukan konkret untuk menjelaskan makna; dan (4) siapa model bahasa sasaran (Dulay, Burt dan Krashen, 1982:14). Sedangkan faktor lingkungan mikro mencakup (1) kemenonjolan (salience), yaitu mudahnya suatu struktur untuk dilihat atau didengar; (2) umpan balik, yaitu tanggapan pendengar atau pembaca terhadap tuturan atau tulisan si pembelajar; dan (3) frekuensi, yaitu seringnya si pembelajar mendengar atau melihat struktur tertentu (Dulay, Burt, dan Krashen, 1982:32).
Berkenaan dengan faktor lingkungan mikro, yang pertama adalah kemenonjolan (salience). Kemenonjolan ini merujuk pada kemudahan suatu struktur dilihat atau didengar. Ia adalah ciri tertentu yang tampaknya membuat suatu butir secara visual atau auditor lebih menonjol dari pada yang lain. Faktor lingkungan mikro yang kedua adalah umpan balik. Salah satu jenis umpan balik adalah pembetulan, yang lainnya adalah persetujuan atau umpan balik positif.
Faktor lingkungan mikro yang ketiga adalah frekuensi yang diasumsikan sebagai faktor berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa. Makin banyak si pembelajar mendengar suatu struktur, makin cepat proses pemerolehan struktur itu. Tetapi penelitian lain ternyata telah menelorkan hasil yang berbeda (Dulay, Burt, Krashen, 1982:32-37).
Ciri-ciri bahan masukan dalam pengajaran BIPA ini termasuk bahan masukan itu sendiri dalam bentuk bahan belajar-mengajar telah tersedia cukup banyak bila guru BIPA mau melanglangbuana ke sana ke mari lewat berbagai media yang ada. Salah satu di antara media yang akan membantu pengembangan bahan ajar serta akan berkontribusi pada upaya peningkatan berbahasa itu adalah media teknologi, khususnya internet.
Referensi
Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.
Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.
Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's.
Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers.
Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston.
Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.
Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd.
Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.
Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press.
Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University Press.
No comments:
Post a Comment