Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis yang melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 - 1960 tampak sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan linguistik dan psikologi akan menjadi landasan terbaik guna memecahkan masalah pengajaran bahasa.
Selanjutnya, lahirlah berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam menelorkan pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell, Spolsky, Ingram, dan Mackey (baca Stern, 1983).
Pembelajaran bahasa sering hanya memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan mengabaikan tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini Bloomfield (1933:499) menyatakan bahwa
Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and non-linguistic behavior, will agree with the criticism that our schools deal too much with the former, drilling the child in speech response phases of arithmetic, geography, or history, and neglecting to train him in behavior toward his actual environment.
Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks pembelajaran bahasa hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat adalah antara lain variabel pajanan (exposure), usia si pembelajar, dan tingkat akulturasi (Krashen, 1982:330).
Dalam berbagai penelitian yang dilaporkan oleh Krashen (1982:37-43), pajanan itu terkadang berkorelasi positif dan berarti dengan kemahiran berbahasa, tetapi terkadang juga tidak. Dalam hal variabel usia yang sering diasumsikan sebagai suatu penduga kemahiran B2, Krashen, Long dan Scarcella yang dikutip oleh Krashen (1982:43) mengetengahkan generalisasi berikut berdasarkan hasil penelitiannya: (1) Orang dewasa bergerak lebih cepat dari pada anak-anak dalam melampaui tahapan dini perkembangan B2-nya; (2) dengan waktu dan pajanan yang sama, anak yang lebih tua melalui proses pemerolehan bahasa lebih cepat dari pada anak yang lebih muda; dan (3) pemeroleh yang memulai pajanan alamiah terhadap B2 pada masa anak-anak pada umumnya mencapai kemahiran B2 lebih baik dari pada yang memulai pajanan alamiahnya sebagai orang dewasa.
Tingkat akulturasi si pembelajar terhadap kelompok bahasa sasaran akan mengontrol tingkat pemerolehan bahasanya. Menurut Schumann yang diuraikan Larsen-Free man (di Bailey, Long & Peck (penyunting), 1983), akulturasi itu meliputi dua kelompok faktor: variabel sosial dan variabel afektif.
Sedikit berbeda dengan Krashen, Titone (di Alatis, Altman, dan Alatis (penyunting), 1981:74-75) menduga bahwa motivasi, bakat bahasa, dan jumlah waktu yang dipakai dalam belajar bahasa merupakan tiga faktor yang paling menonjol yang memberikan ciri pada pembelajaran B2.
Referensi
Abdul-Hamied, F. 1988. Keterpelajaran dalam Konteks Pemerolehan Bahasa. Makalah Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa II Unika Atmajaya, Jakarta, 23-24 Agustus.
Abdul-Hamied, F. 1997. Pengembangan Pendidikan Bahasa dan Seni lewat Medium Internet. Makalah Seminar Pemanfaatan Internet, FPBS IKIP Bandung 26 Maret 1997.
Alatis, J.E. et.al. (eds). 1981. The second language classroom; directions for the 1980's.
Bailey, K.M., M.H. Long, & S. Peck (penyunting). 1983. Second Language Acquisition Studies. Rowley: Newbury House Publishers.
Bloomfield, L. 1933, 1966. Language. New York: Holt, Rhinehart and Winston.
Coleman, H. (penyunting). 1996. Society and the Language Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Dulay, H., M. Burt, & Krashen, S. 1982. Language Two. New York: Oxford University Press.
Felix, U. 1998. Virtual language learning: finding the gems among the pebbles. Melbourne: The National Languages and Literacy Institute of Australia Ltd.
Krashen, S.D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition. Pergamon Press.
Ohmae, K. 1995. The end of the nation state. London: Harper Collins Publishers.
Richards, J.C. 1998. Beyond Training. Cambridge: Cambridge University Press.
Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Shigeru, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Bahasa dan Sastra Indonesia di Jepang. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soedijarto. 1988. Pembinaan Bahasa Indonesia di Luar Negeri sebagai Bagian dari Upaya Diplomasi Kebudayaan: Sebuah Pengalaman dari Republik Federal Jerman (1983-1987). Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. London: Oxford University Press.
Sumarmo, M. 1988. Keadaan dan Perkembangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Amerika Serikat. Makalah Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Warschauer, M. & Kern, R. (eds.). 2000. Network-based language teaching: concepts and practice. Cambridge: Cambridge University Press.
No comments:
Post a Comment