Search This Blog

Thursday 7 April 2011

ANALISIS PSIKOLOGI DRAMA “BADAI SEPANJANG MALAM” KARYA MAX ARIFIN


 
ANALISIS PSIKOLOGI DRAMA “BADAI SEPANJANG MALAM”
KARYA MAX ARIFIN 
Oleh



Ita Sartika
        Drama ini memang sangat cocok untuk dikaji secara psikologi karena konflik utamanya merupakan konflik batin seorang tokoh utama yang bernama Jamil. Jamil bekerja sebagai seorang guru SD di sebuah desa terpencil. Awalnya ia memiliki idealisme tinggi untuk memajukan pendidikan di desa tersebut dan sangat tertarik dengan suasananya. Akan tetapi setelah beberapa tahun berlalu ia merasa bosan tinggal di desa yang sepi itu, karena memang sebelum dipindahtugaskan ke desa itu ia bertempat tinggal di sebuah kota yang ramai.
Suatu malam ia menunjukkan buku hariannya pada Saenah (istri Jamil). Buku harian tersebut berisi tentang kebosanannya tinggal di desa yang sunyi itu. Hal tersebut membuat tanda tanya besar di benak saenah akan kejujuran dan idealisme suaminya kini. Sehingga terljadilah pertengkaran diantara keduanya.
            Selain suasana sunyi desa itu terdapat pula factor lain yang membuatnya tidak betah yaitu terlalu bergantungnya masyarakat kepadanya dan istri sehingga setiap aspek kehidupannya disoroti oleh mereka. Akibatnya ia merasa tertekan menghadapi keadaan tersebut sehingga ia pun memutuskan untuk pergi dari desa.
Berdasarkan cerita diatas, kita dapat menyimpulkan dua konflik yang terjadi pada tokoh Jamil yakni pudarnya idealisme untuk memajukan masyarakat desa karena ia merasa tertekan oleh perlakuan masyarakatnya serta ketidaksesuaian prinsip Jamil yang menjungjung tinggi kejujuran pada hati nuraninya. Untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut berikut akan dijelaskan satu persatu konflik yang dialami Jamil.
2.2.1 Pudarnya Idealisme Tokoh Jamil
Sebelum kita mengkajinya lebih lanjut, hendaklah diketahui pengertian dari idealisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) idealisme diartikan sebagai aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar, yang dapat dicamkan, dijadikan patokan, serta dianggap sempurna. Adapun menurut Ken Pradnya Paramitha, S.Psi (sarjana psikologi, Universitas Sanata Dharma Jogjakarta) mengatakan, idealisme seseorang terbentuk dari suatu konsep cara pandang serta nilai-nilai yang dipegang, yang akan menjadi sikap dan mendorong terbentuknya tingkah laku. Faktor pembentuk idealisme bisa berasal dari latar belakang seseorang, seperti pendidikan, nilai-nilai hidup, dan informasi yang diterima dari luar. Idealisme akan positif, jika nilai-nilai yang diserap merupakan hal positif pula. Idealism yang dimiliki Jamil juga bersifat positif dan sangat terpuji. Ia lebih memilih meningkatkan kualitas SDM di desa dibanding bekerja di kota yang bekerja hanya untuk menjadi seorang guru teladan atau mendapat penganugrahan lainnya. Akan tetapi mereka tidak memikirkan para siswa yang tinggal di desa yang sesungguhnya sangat membutuhkan mereka. Hal itu nampak pada kutipan berikut:
30.Jamil:
Aku bukan orang yang membutuhkan perhatian dan publikasi.Kepergianku ke sana bukan dengan harapan untuk menjadi guru teladan.Coba bayangkan,siapa pejabat yang bisa memikirkan kesulitan seorang guru yang bertugas di Sembalun,umpamanya?Betul mereka menerima gaji tiap bulan.Tapi dari hari ke hari dicekam kesunyian,dengan senyum secercah terbayang di bibirnya bila menghadapi anak bangsanya.dengan alat alat serba kurang mungkin kehabisan kapur,namun hatinya tetap di sana.Aku bukan orang yang membutuhkan publikasi,tapi ukuran ukuran dan nilai nilai seorang guru di desa perlu direnungkan kembali.Ini bukan ilusi atau igauan di malam sepi,Saenah.Sedang teman teman di kota mempunyai kesempatan untuk hal hal yang sebaliknya dari kita ini.Itulah yang mendorong aku,mendorong hatiku untuk melamar bertugas di desa ini.
PPPPSayangnya idealisme itu sedikit memudar akibat kebosanannya pada suasana sunyi desa yang tak seramai kota. Selain itu juga tokoh Jamil merasa sangat tertekan oleh perlakuan masyarakat yang menyoroti segala aspek kehidupannya. Bukan hanya itu, masyarakat desa juga terlalu bergantung padanya sehingga membuatnya semakin tertekan. Memang hal itu merupakan salah satu konsekuensi tinggal di desa bahkan sampai pada saat ini. Masyarakat desa selalu menganggap seorang guru itu ahli dalam segala bidang sehingga mereka selalu bergantung padanya. Tokoh Jamil memang menyadari hal tersebut adalah konsekuensinya tinggal di desa tetapi tetap saja ia merasa tertekan diperlakukan oleh masyarakatnya.
Pada saat-saat seperti itu, peranan seorang istri sangatlah diperlukan untuk membangkitkan idealisme suami. Saenah (istri Jamil) akhirnya bisa membangkitkan kembali idealisme suaminya dengan cara mengingatkan kembali saat pertama kali ia diajak pindah oleh Jamil, pemutaran kembali rekaman pidato kepala desa serta pengutipan kata-kata Leon Uris pengarang favoritnya.
2.2.2 Ketidaksesuaian Idealisme jamil dengan masyarakat
Tokoh Jamil sangat menjungjung tinggi kejujuran akan hati nuraninya sehingga ia sering sekali mengatakan tidak pada apapun yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
16.Jamil:
Apakah masih harus kukatakan bahwa aku telah berusaha berbuat jujur dalam semua tindakanku?Kau menyalahkan aku karena aku terlalu banyak bilang”Tidak” dalam setiap dialog dengan sekitarku.Tapi itulah hatiku yang ikhlas untuk ikut gerak langkah masyarakatku.Tidak,Saenah.Mental masyarakat seperti katamu itu tidak terbatas di desa saja, tapi juga berada di kota ini (dialog ke-16)
Akan tetapi pandangan Jamil itu ditolak oleh Saenah, karena ia berpendapat dibalik kejujuran yang dijunjung tinggi oleh Jamil itu terdapat sebuah sifat keras kepala.
15.Saenah:
Kini aku yang bertanya:jujurkah pada nuranimu sendiri?Penilaian terakhir ada pada hatimu.dan mampukah kau membuat semacam pengadilan yang tidak memihak kepada nuranimu sendiri?Karena bukan mustahil sikap keras kepala yang berdiri di belakang semuanya itu.Terus terang dari hari ke hari kita seperti terdesak dalam masyarakat yang kecil ini.
Salah seorang Psikolog terkemuka mengemukakan apabila seseorang memiliki idealisme, ia harus mampu menyeimbangkannya dengan realitas yang ada. Jika tidak, ia akan mengalami persinggungan terhadap realitas, yang mungkin menimbulkan frustrasi dalam diri atau bahkan terseret arus realitas. Frustrasi muncul sebagai dampak dari ketidakberhasilan dalam mendapatkan kondisi ideal. Kefrustasian itulah yang menimpa tokoh Jamil, ia tidak bisa menyeimbangkan idealismenya dengan realitas yang ada (dalam hal ini masyarakat) sehingga tokoh Jamil mengalami persinggungan dengan masyarakat atau seperti yang Saenah katakan bahwa Jamil tidak memahami masyarakatnya sendiri dan tidak bisa bergaul akrab dengan masyarakatnya. Yang pada akhirnya dia akan merasa tertekan berada di lingkungan masyarakat yang terlalu bergantung kepadanya.
17.Saenah:
Kau
PtidakPmemahamiPmasyarakatmu.
PPPPSebaiknya sebuah idealisme harus disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat yang ada, serta menyerap nilai-nilai positif, menghindari pengaruh negative, serta tidak mempertahankan idealisme secara berlebihan.
2.3 Sikap Pengarang
          Max Arifin (lahir dengan nama Mohammad Arifin di Sumbawa Besar, 18 Agustus 1936, meninggal dunia di Rumah sakit Sido Waras, Bangsal, KabupatenMojokerto, 1 Maret 2007) adalah seorang tokoh teater Indonesia. Semasa hidupnya hingga akhir hayatnya ia bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Lombok. Berdasarkan hal tersebut, drama “Badai Sepanjang Malam” ini mungkin terinspirasi oleh pengalamannya dan hal tersebut ia tuangkan dalam drama ini.
          Terdapat tiga pesan yang ingin disampaikan oleh Max Arifin dalam drama ini. Pertama, agar setiap orang mengetahui keadaan pendidikan di desa terpencil yang sangat membutuhkan tenaga pengajar sehingga diharapkan setelah menonton drama ini timbul ketertarikan masyarakat untuk memajukan masyarakat desa. Kedua, pengarang ingin semua orang mengetahui apa saja yang dialami oleh seorang guru yang bertugas di desa terpencil sehingga muncullah penghargaan yang tinggi pada semua guru yang bertugas di desa. Ketiga, pengarang ingin menyampaikan bahwa betapa pentingnya pembicaraan dengan orang lain untuk mengatasi masalah yang kita hadapi. Karena tak jarang banyak masalah yang terselaikan setelah terjadinya pembicaraan dengan orang lain (sharing) seperti halnya yang dialami oleh tokoh Jamil

0 comments:

Post a Comment