Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk Syûrâ (musyawarah) yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk Syûrâ yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Sehingga hal tersebut memunculkan keanekaragaman bentuk musyawarah yang dilaksanakan oleh berbagai Negara di dunia meskipun mayoritas masyarakat negara-negara tersebut beragama islam. Berikut ini akan dipaparkan berbagai bentuk musyawarah yang terdapat dalam beberapa Negara yang mayoritas masyarakatnya beragama islam khusunya musyawarah yang dilakukan dalam pemerintahan. Adapun Negara-negara tersebut diantaranya Negara Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Iran serta Indonesia.
• Bentuk Musyawarah Negara Arab Saudi
Bentuk pemerintahan Arab Saudi adalah monarki absolut. Adapun yang dimaksud dengan bentuk pemerintahan monarki absolut yaitu bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh seorang (raja, ratu, syah, atau kaisar) yang kekuasaan dan wewenangnya tidak terbatas. Perintah raja merupakan hukum dan undang-undang yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh rakyatnya.
Pada diri raja terdapat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menyatu dalam ucapan dan perbuatannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk pemerintahan ini memiliki beberapa keunggulan, akan tetapi bentuk pemerintahan yang dianut Arab saudi ini juga memiliki kelemahan, yakni diterapkannya monarki absolut (sistem kerajaan), akan mengikis nilai-nilai demokrasidi Negara tersebut. Bahkan masyarakat nagara Arab menganggap bahwa demokrasi tidak sesuai dengan syariat Islam, padahal apabila kita kaji lebih dalam sesungguhnya Nabi Muhamad juga tidak pernah mewariskan kekuasaan pada anak cucunya. Sehingga sistem kerajaanpun sebenarnya tidak sesuai dengan syariat yang dibawa Nabi, karena sesungguhnya dalam diskursus politik Islam hanya dikenal konsep syura (musyawarah) sebagai lembaga yang sekarang ini dinamakan lembaga perwakilan.
Seharusnya dalam memutuskan suatu perkara seorang raja tidak dapat secara semena-mena memutuskan perkara tersebut sendirian, akan tetapi ia harus memusyawarahkan terlebih dahulu perkara tersebut bersama dengan orang-orang yang benar-benar ahli di bidangnya atau perwakilan-perwakilan masyarakat sehingga keputusan yang diambil tersebut bersifat adil untuk seluruh masyarakat.
• Bentuk Musyawarah Negara Malaysia
Negara Malaysia menganut sistem pemerintahan Monarki parlementer. Adapun yang dimaksud dengan monarki parlementer adalah bentuk pemerintahan dalam suatu negara yang dikepalai oleh seorang raja dengan menempatkan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Jatuh tegaknya pemerintah bergantung pada kepercayaan parlemen kepada para menteri. Dalam monarki parlementer, kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet (perdana menteri) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Fungsi raja hanya sebagai kepala negara (simbol kekuasaan) yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Raja tidak memegang pemerintahan secara nyata, tetapi para menteri yang bertanggung jawab atas nama dewan maupun sendiri-sendiri, sesuai tugas masing-masing.
Hanya saja dalam kenyataannya terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh raja beserta dengan keluarganya, yang mana mereka merasa seolah-olah manjadi penguasa yang boleh malakukan apa saja. Selain itu semua keputusan yang dibuat oleh pimpinan negara walaupun prakteknya adalah musyawarah, hanya saja bentuk musyawarahnya itu seperti musyawarah ala DPR/MPR masa Orde Baru di Indonesia. Setelah itu hasil dari ‘Musyawarah’ itu juga tidak boleh dipertanyakan. Di Negara Malaysia, siapa saja yang mempersoalkan hasil ‘Musyawarah’ ini dapat diklasifikasikan sebagai orang yang membahayakan keselamatan negara dan dapat ditahan dengan menggunakan ISA atau Akta Hasutan. Jadi bentuk musyawarah yang dilaksanakan di Negara Malaysia ini tidak sesuai dengan syariat islam karena tidak adanya keterlibatan masyarakat didalam urusan yang berkaitan dengan mereka serta tidak adanya keterbukaan dalam pelaksanaan musyawarah tersebut.
0 comments:
Post a Comment