Search This Blog

Monday 21 February 2011

biografi chairil anwar sang penyair legendaris


         Chairil Anwar lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatera Utara. Ayahnya bernama Tulus dan ibunya bernama Saleha; keduanya berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Chairil adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia bersekolah di HIS (Sekolah Dasar jaman Belanda) di Medan. Setelah itu ia melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) namun hanya sampai kelas satu (Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar, Penerbit Obor, Jakarta, hal 11-13).
          Sahabat dan gurunya, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) melukiskan Chairil sebagai seorang yang “amat spontan, tidak tenggang-menenggang mengucapkan apa yang terasa dan terpikir kepadanya, sangat tidak tahu adat dalam tindakan dan kelakuannya” (STA, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Pustaka Jaya, hal. 140). Sementara H.B. Jassin menggambarkan Chairil Anwar sebagai: “…seorang muda kurus pucat tidak terurus kelihatannya. Matanya merah, agak liar, tapi selalu berpikir, gerak-geriknya lambat seperti laku orang tidak peduli.” (Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar, hal.14).
Seorang yang cuek seperti Chairil, berpenampilan asal-asalan, liar dan sering bertingkah sesuka hati, bukan berarti dia tidak memiliki pengalaman keagamaan yang khas. Setiap orang memiliki saat-saat tertentu tatkala ia merasa sangat dekat dengan Tuhannya. Demikian pula halnya Chairil Anwar. Namun tidak mungkinlah di sini untuk mengungkapkan pengalaman keagamaan Chairil Anwar seluruhnya. Selain membutuhkan literatur yang memadai, juga akan menghabiskan banyak halaman untuk menuliskannya. Di sini saya hanya akan mengungkap pengalaman keagamaan Chairil Anwar sebagaimana terungkap dalam beberapa sajaknya.
Sebagian pengamat sastra menilai Chairil Anwar mengadakan hubungan dengan Tuhan secara tidak lazim sebagaimana diungkapkan orang pada umumnya. Sikapnya terhadap Tuhan mencerminkan keangkuhan dan penantangan, persis sikapnya terhadap teman-temannya. Namun kita segera akan tahu bahwa sikap “angkuh dan menantangnya terhadap Tuhan” itu bukanlah sikap seorang yang berkuasa dan bangga dengan kekuasaannya, melainkan sikap seorang hamba yang lemah, yang menginginkan suasana yang berbeda. Biasanya orang mendatangi Tuhan dengan penuh takut dan harap, dengan segala ketundukan dan kepasrahan, tetapi Chairil Anwar bukan saja tidak mau datang menghadap Tuhan, malah Tuhanlah yang disuruh datang menghadap kepadanya.
Kuseru saja Dia
sehingga datang juga
Kami pun bermuka-muka.

(Di Mesjid, 1943)
Dalam sajaknya yang lain, Chairil memang datang menghadap Tuhan, namun hal itu dilakukannya seolah-olah dengan terpaksa.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
menyerahkan diri dan segala dosa
tapi jangan tentang lagi aku
nanti darahku jadi beku

(Kepada Peminta-minta)
Tema tentang kematian, ketakutan terhadap kematian, dan kepasrahan menghadapi kematian, merupakan sesuatu yang ada hubungannya dengan pengalaman keagamaan. Meskipun Chairil dikenal sebagai penyair yang penuh vitalitas, kebebasan, dan pemberontakan, seperti tercermin dalam sajak-sajak patriotismenya, sesungguhnya Chairil adalah seorang pesimis yang selalu dibayang-bayangi oleh pikiran tentang maut. Chairil senantiasa berulang-ulang menghadapi kematian sebagai sesuatu yang senantiasa mengancamnya, baik dalam percintaannya maupun dalam perjuangannya (STA, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, hal. 169). Terhadap maut Chairil tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tunduk patuh dan menyerah. Lenyap sudah segala kesombongan dan kelantangannya seperti terucap dalam sajak: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Dalam sajaknya Cemara Menderai-derai, Chairil berkata pasrah: Hidup hanya menunda kekalahan.
Seolah-olah dapat meramalkan kematiannya, menjelang akhir hidupnya Chairil menulis sebuah sajak tentang kematian dan kesiapannya memasuki pekuburan Karet (daerahnya yang akan datang). Dalam kamarnya yang sepi Chairil bersiap menunggu maut, sendiri, menggigil, dipesiang kelam dan angin lalu.
Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang dimana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi hanya tangan yang bergerak lantang.
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

1949
Tanggal 23 April 1949, Chairil diopname di CDZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo) karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Rupanya penyakit Chairil terlalu parah sehingga tak bisa diobati lagi. Tanggal 28 April Chairil menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kesaksian Jassin mengenai hal itu demikian: “Chairil meninggal dengan berani dan tidak lupa kepada Tuhan. Meskipun dalam masa akhirnya dia mengigau karena panas badannya tinggi, pada saat dia insyaf akan dirinya dia selalu mengucap: Tuhanku, Tuhanku…,” mirip dengan bunyi sajaknya berikut ini (Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar, hal. 20):
DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara ke negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
Inilah barangkali sajak religius karya Chairil yang paling indah dan dalam; yang menggambarkan penyerahan diri dan kepasrahan total kepada Tuhan. Chairil menyadari betapa susahnya Mengingat Kau penuh seluruh, bahkan tidak mungkin; diri kita yang berbatas berhadapan dengan Ia yang tak berbatas; waktu kita yang singkat, serta pikiran kita yang disarati berbagai macam hal, membuat kita bisa mengingat Tuhan hanya pada saat-saat tertentu saja. Chairil yang hilang bentuk, remuk, setelah mengembara ke negeri asing, mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan sandaran dan tujuan, pada akhirnya menyerah pasrah, kembali kepada Tuhan: Di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. #

0 comments:

Post a Comment