Search This Blog

Friday 18 February 2011

Kajian Feminisme Sastra


Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5).  menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.
”Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan keduduk­an dan derajat perempuan agar sama atau sejajar de­ngan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan ser­ta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini menca­kup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memper­oleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki” (Djajanegara, 2000:4).

Lebih lanjut Djajanegara (2000: 27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis dsebagai berikut.
a.        KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
b.        KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita).  Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
c.        KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d.       KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
e.        KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
f.         KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
Sugihastuti (2005:15-16) mengemukakan bahwa dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukkanmasih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan pendeknya derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Keempat, penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian yang berlimpah ruah ini.
Kelima, lebih dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata diresepsi dari karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra berperspektif feminis.
Berdasarkan dasar pemikiran di atas, langkah mengkaji prosa fiksi berdasarkan feminis dalam penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan  berbagai isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan teks.
Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, ikon, maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan pen­ekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wa­nita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah men­jadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
Setelah mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah karya, kita mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Misalnya, jika ke­udukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat tradisional dia akan dipandang menempati ked­udukan yang inferior atau lebih rendah daripada ke­dudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berp­eran sebagai orang yang hanya mengurus rumah tang­ga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh demikian akan memiliki ciri-ciri Victoria yang ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Selanjutnya, kita mencari tahu tujuan hidupnya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangga­nya akan ditentang oleh para feminis. Wanita demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Seba­liknya, perempuan yang bercita-cita untuk dengan ber­bagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir dan batin akan didukung oleh gerakan fe­minisme. Perempuan demikian akan mengangkat kedu­dukan dan harkatnya hingga menjadi setingkat dengan kedudukan dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyakarat.
Lebih lanjut, kita dapat mengetahui perilaku serta wa­tak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung dibe­rikan penulis. Misalnya, penulis menggambarkan tokoh tersebut sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, gemar dan pandai mengatur rumah tangga, serta mau ber­usaha keras untuk membahagiakan suami. Penulis dapat juga melukiskan tokoh wanita sebagai pribadi yang haus akan pendidikan atau pengetahuan, yang rajin berkarya di luar lingkungan rumah, terutama untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga bisa diakui masyarakat se­bagai sosok yang memiliki jati diri sendiri tanpa dikaitkan dengan kedudukan suami.
Kemudian kita perhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang bersangkutan. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakannya akan memberi banyak ke­terangan bagi kita tentang tokoh itu. Seandainya se­orang perempuan berangan-angan untuk mendapat pendidikan yang memadai agar mampu menduduki suatu jabatan dan mampu membantu ekonomi kel­uarganya, maka tokoh tersebut telah mewujudkan sa­lah satu tujuan yang diperjuangkan gerakan feminisme. Demikian pula dialog-dialog yang melibatkan tokoh itu akan banyak mengungkapkan watak dan  jalan pi­kirannya.
Langkah kedua adalah meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati. Cara-cara atau ta­hap-tahap yang kita tempuh tidak banyak berbeda dari apa yang telah kita laksanakan terhadap tokoh perempuan. Meskipun tujuan utama kita adalah meneliti to­koh perempuan, kita tidak akan memperoleh gambaran lengkap tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya, khususnya tokoh laki-laki, sebagaimana layaknya dila­kukan dalam kajian gender.
Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji. Mungkin kita akan ber­prasangka bahwa jika penulisnya laki-laki, dengan sen­dirinya tokoh wanitanya ditampilkan sebagai sosok tra­disional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehi­dupan penuh ketergantungan. Sebaliknya, apabila pe­nulisnya perempuan, dia akan menghadirkan tokoh pe­rempuan yang tegar, mandiri, serta penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian sebaiknya kita kesampingkan saja. Baik laki-laki maupun wanita, seorang penulis mungkin saja menampilkan perempuan mandiri atau perempuan tradisional. Yang perlu diperhatikan adalah nada atau suasana yang mereka hadirkan. Mereka mungkin saja menulis dengan kata-kata menyindir atau ironis, dengan nada komik atau memperolok-olok, de­ngan mengkritik atau mendukung, dan dengan nada optimistik atau pesimistik. Nada dan suasana cerita pa­da umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis dalam menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung para feminis.
Untuk mengetahui pandangan serta sikap penulis, se­baiknya penganalisis memperhatikan latar belakangnya. Misalnya tempat dan waktu penulisan sebuah karya ba­nyak mempengaruhi pendirian dan sikap seorang penulis. Untuk memperoleh keterangan mengenai penulis, kita bisa membaca biografinya atau kritik tentang karya-kar­yanya.

0 comments:

Post a Comment