Search This Blog

Friday 18 February 2011

Pendekatan Poskolonial dalam Mengkaji Sastra

”Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49).

”Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab, maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi, 2001: 44).

”Kesusastraan poskolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200).

       Pada tahapan yang paling mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang berkaitan dan menggugat hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek kolonialisme.
      Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz (2003: 201) menjelaskan bahwa postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu merekamkan atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana poskolonial.
      Pernikiran-pemikiran Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan dimanfaatkan oleh sejumlah pemikir yang menggagas teori poskolonial. Teori dan kritik poskolonial yang marak sejak tahun 1980-an di Amerika Serikat, lnggris, dan Australia pada awalnya dipelopori oleh Leopold Senghor, Dominique O'manononi, Aimme Cesaire, Frants Fannon, dan Albert Memmi, yang menyorot berbagai aspek dan dimensi pengalaman penjajahan. Bedanya, generasi yang mengembangkannya kemudian, misalnya Edward Said dan Hhomi Bhaba, sangat dipengaruhi oleh pemikiran poststrukturalis, terutama Derrida dan Foucault (Budianta, 2004:49).
      Sesungguhnya wacana poskolonial memperjuangkan politik pertentangan, namun, ada yang berpendapat bahwa hal ini tidak boleh disamakan dengan antikolonialisme seperti yang ditegaskan oleh Bussnett (Aziz, 2003: 200) yang melihat paskolonialisme berbeda dari pada anti kolonialisme karena wacana yang ini tidak terlepas dengan menerima hakikat kesan penjajahan terhadap yang dijajah, dengan kata lain, walaupun wacana poskolonial ataupun poskolonialisme memberi reaksi yang menolak hegemoni dan autoriti barat, namun kesan hubungan yang kompleks antara penjajah dengan yang dijajah telah memberi kesan pada pembentukan budaya poskolonial, dan seterusnya mempengaruhi pembentukan kesusasteraan poskolonial.
       Beberapa topik yang dikembangkan oleh poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Pembicaraan mengenai topik¬-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak Derrida, yakni bahwa segala sesuatu bentuk identitas merupakan bangunan (atau anggitan) sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara biologis (Budianta, 2004:51).
      Objek penelitian poskolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008:90) mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008:90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern.
Menurut Pamela Alen (2004:211), ada dua penanda postkolonial, yaitu:
a. Tempat dan Pemindahan
      Tempat dan pemindahan adalah masalah umum dalam kajian sastra poskolonial. Pemindahan disebabkan oleh kebutuhan kolonial untuk ketertiban, proses hibridisasi sebagai suatu keadaan yang muncul akibat belenggu kolonialisme dan upaya untuk menemukan kembali jati dirinya, dan yang terakhir adalah globalisasi.
Dalam proses didefinisikan kembali oleh kolonialisme, tak diragukan lagi bahwa ada individu yang mengalami pemindahan, pengucilan, dan marginalisasi. Pemerintah kolonial membutuhkan "Penempatan" karena ini dibebankan pada serangkaian dinamika yang sudah lebih dahulu ada, yang perlu membawakan pemindahan.   Karena kekuatan hegemonik dari pemerintah kolonial dipertahankan mulai kontrol yang ketat dan tekanan untuk terus menerus menjaga segala sesuatu tetap pada tempatnya, penjajah harus berhati-hati terhadap kekacauan yang menuntut kedewasaan terus menerus. Ingin dilakukan dalam banyak cara, misalnya tekanan polisi, melarang semua gerakan populer atau dengan cara korupsi. mekanisme yang dipakai bersifat terus menerus dan teratur.
b. Dekonstruksi
      Istilah dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida melalui buku-bukunya, antara lain Of Grammatology, Yhriiting and Difference, Dissemination, dalam ilmu sastra mengacu pada model/metode analisis (atau model yang argument filosofis) yang dipakai dalam membaca berhagai macam teks sastra maupun nonsastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian dengan logikalretorika antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara emplisit tersembunyi dalam teks. Kajian dekonstruksi menunjukkan bagaimana kontradiksi-kontradiksi tersebut disamakan oleh teks.
      Poskolonial menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan imperealisme.
      Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan, tindakan subversif penjajah dan penjajahan, masalah ras, etnisitas, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan konsep poskolonial tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.

1 comments: