Search This Blog

Friday, 18 February 2011

Pendekatan Psikoanalis Sastra


Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah lama ada, semenjak usia ilmu itu sendiri. Akan tetapi penggunaan psikologi sebagai sebuah pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan. Menurut Robert Downs ( 1961: 1949 ) dalam Abdurrahman, (2003 : 1), bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada suatu wilayah yang gelap, mistik dan paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah. Dan wilayah yang gelap itu memang ada pada manusia, dari wilayah yang gelap itulah kemudian muncul perilaku serta aktifitas yang beragam, termasuk perilaku baik, buruk, kreatif, bersastra dan lain-lain.
Menurut Harjana ( 1991: 60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan mensikapi kehidupan. Disini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan reponnya terhadap tindakan lainnya.
Menurut Wellek dan Warren
(1993: 81-93), psikologi sastra memasuki bidang kritik sasra lewat beberapa
jalan, antara lain:
  1. Pembahasan tentang proses penciptaan sastra.
  2. Pembahasan psikologi terhadap pengarangnya (baik sebagai suatu tipe maupun sebagai
         seorang peneliti).
  3. Pembicaraan tentang ajaran dan kaidah psikologi yang dapat ditimba dari karya sastra.
  4. Pengaruh karya sastra terhadap pembacanya.
Dalam psikologi sastra, ada beberapa tokoh psikologi terkemuka, seperti
Sigmund freud, Carl Gustav Jung dan Mortimer Adler yang telah memberikan
inspirasi tentang misteri tingkah laku manusia melalui teori-teori psikologi.
Namun Freud-lah yang paling banyak memberi sumbangan pemikiran dalam psikologi sastra, dia secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai
akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian
dituangkan kedalam bentuk penciptaan karya seni. Teori pendekatan psikologi
sastra yang dikembangkan oleh Freud ini dikenal dengan nama Psikoanalisis.
 1. Sigmund Freud
Dalam konsepnya, Freud bertolak dari psikologi umum, yaitu dia menyatakan
bahwa dalam diri manusia ada tiga bagian, yaitu id, ego dan super-ego.
Jika ketiganya berkerja secara wajar dan seimbang, maka manusia akan
memperlihatkan watak yang wajar pula. Namun jika ketiga unsur tersebut tidak
bekerja secara seimbang, dan salah satunya lebih mendominasi, maka akan
terjadilah peperangan dalam batin atau jiwa manusia, dengan gejala-gejala resah,
gelisah, tertekan dan neurosis yang menghendaki adanya penyaluran.
Dalam penggambaannya tentang pengarang dalam mencipta karya sastra, Freud
mengatakan bahwa pengarang tersebut diserang penyakit jiwa yang dinamakan
neurosis bahkan bisa mencapai tahap psikosis, seperti sakit syaraf dan mental
yang membuatnya berada dalam kondisi yang sangat tertekan, keluh kesah trsebut
mengakibatkan munculny aide dan gagasan yang menggelora yang menghendakinya
agar disublimasikan dalam bentuk karya sastra.
Selanjutnya, dalam bukunya ‘Tafsir Mimpi ‘, Freud mengungkapkan salah
satu metode  menafsirkan teks sastra.
Freud
berpendapat bahwa sastra adalah merupakan bagian dari mimpi. Jadi analisa
yang diterapkan dalam sastra adalah seperti menganalisa orang yang sakit
melalui mimpi. Maka dengan demikian analisa-analisa tersebut meliputi (Rahmani,
2004: 106):
1. Taksif, yaitu adanya unsur seperti seseorang, gambar atau ucapan dalam mimpi.
2. Izahah, yaitu merupakan suatu rangkaian yang berhubungan dengan inti.. ini suatu perasaan yang terurai dari bentuk aslinya dan berubah menjadi bentuk lain yang tidak ada hubungannya dan mudah digambarkan.
3. Menerima bentuk lain, mudah dibentuk, jadi berbagai ide yang tidak disadari, bisa berubah menjadi bentuk-bentuk tertentu. Karena pada dasarnya mimpi merupakan produk visual yang dianggap oleh si pemimpi sebagai sebuah peristiwa.
4. Penafsiran, yaitu menjelaskan makna yang terkandung pada suatu materi.
Pandangan Freud tersebut ditafsirkan oleh Dr. Ernest Jones dengan tiga tujuan, yaitu:
  1. Penafsiran  langkah-langkah proses seni.
  2. Tujuan-tujuan nir-sadar para seniman.
  3. Dorongan-dorongan pribadi yang melahirkan imajinasi.
Jadi, seniman menurut Freud adalah orang yang sakit, menurutnya seniman tersebut adalah sosok yang labil, mudah bergejolak dan dengan menghasilkan seni ia berusaha menjaga dirinya dari keterpurukan mental. Jadi, ibaratnya seni itu merupakan penawar  dahaga bagi seorang seniman.
2. Mortimer Adler.
Simon Adler merupakan salah seoang murid Freud. Namun dia banyak menyangkal pendapat-pendapat dari Freud sendiri. Teori Adler terkenal dengan sebutan Inferiority complex atau perasaan rendah diri, yang pada dasarnya adalah merupakan teori dari Al-Jahidt. Teori tersebut memungkinkan Adler menyelami teks untuk mencari bentuk-bentuk pengganti kekurangan dalam diri. Akan tetapi dalam penerapannya Adler tidak bisa mencapai kepuasan seperti kepuasan yang dicapai oleh Freud.
Dalam dunia kritik Arab, teori diterapkan oleh al-Mazini ketika dia beranggapan bahwa Basyar ( yang merupakan penyair jahili dan seorang budak ) banyak bercerita tentang seseorang dan budak. Mazini mengatakan bahwa Basyar selalu merasa kekurangan dalam dua hal, pertama dia buta, dia seorang budak belian.
1. Hubungan
Psikologi adalah kajian menguraikan kejiwaan dan meneliti alam bawah sadar pengarang. Sedangkan Hubungan antara sastra dan psikologi karena munculnya istilah psikologi sastra yang membahas tentang hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, misalnya karakter tokoh-tokoh dalam suatu karya sastra diciptakan pengarang berdasarkan kondisi psikologis yang dibangun oleh pengarangnya.
2. Konsep
Psikologi adalah suatu seni yang biasanya menyajikan situasi yang terkadang tidak masuk akal dan suatu kejadian-kejadian yang fantastik. Psikologi dapat mengklasifikasikan pengarang berdasarkan tipe psikologi dan fisiologinya. Mereka bisa menguraikan kelainan jiwanya, bahkan meneliti alam sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen diluar sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Banyak karya besar yang menyimpang dari standar psikologi, karena kesesuaian hasil karya dengan kebenaran psikologis belum tentu bernilai artistik. Pemikiran psikologi dalam karya sastra tidak hanya dicapai melalui pengetahuan psikologi saja. Namun pada kenyataannya atau pada kasus-kasus tertentu pemikiran psikologi dapat menambah nilai estetik atau keindahan karena dapat menunjang koherensi dan kompleksitas suatu karya.
3.    Ciri-ciri
a. Pengarang menghindari penyesuaian diri dengan norma masyarakat, karena hal itu berarti mematikan arus lingkungan.
b. Adanya kemampuan membayangkan suatu bayangan yang bersifat indrawi.
c. Susunan mental seorang penyair berbeda dengan susunan sebuah puisi.
d. Sebagai gejolak emosi, suatu karya dapat menampilkan hubungan imajinasi dengan kepercayaan.
e. Psikologi merupakan suatu persiapan penciptaan.
f. Bersumber dari kebiasaan untuk tidak membeda-bedakan macam-macam penginderaan.
4. Manfaat
a. Mempertajam kemampuan pengamatan.
b. Membantu mengentalkan kepekaan pada kenyataan.
c. Memberi kesempatan untuk menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya.
d. Studi tentang perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya karena jika dipakai dengan tepat, dapat membantu kita melihat mana keretakan, ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang penting dalam suatu karya sastra.
e. Menjelaskan tokoh dalam situasi cerita.


0 comments:

Post a Comment